BAPANAS/JAKARTA- Pemerintah tengah melakukan revisi atas PP No 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan. Salah satu isinya yang mengundang polemik mengenai persyaratan pemberian remisi alias pemotongan masa tahanan untuk koruptor.
Dalam draf revisi itu di pasal 32 disebutkan, (1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana …..korupsi…lainnya dapat diberikan jika telah memenuhi persyaratan (a). berkelakuan baik dan (b), telah menjalani 1/3 (satu petiga) masa pidana." (2) selain persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1) bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak korupsi dan pencucian uang yuang telah membayar lunas denda dan uang penganti sesuai putusan pengadilan."
Status sebagai justice collaborator yang merupakan sayarat remisi dihilangkan. Padahal di PP dahulu, seorang koruptor bisa mendapat remisi apabila dia mau bekerjasama dengan penegak hukum.
Rencana revisi ini mendapat kritik keras dari Institute Criminal Justice Reform (ICJR). Niat Pemerintah mengubah pasal remisi tersebut, dinilai malah memberi angin segar bagi koruptor. Padahal semestinya koruptor diberi hukuman berat agar memberi efek jera
"Pemerintah seharusnya justru lebih konsisten menerapkan policy "zero tolerance" bagi narapidana korupsi sesuai dengan atas Pasal 34 A Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012," terang Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, Kamis (11/8/2016).
Menurut dia, dengan aturan baru ini, pemerintah seakan akan lupa bahwa korupsi adalah kejahatan merusak dalam skala yang lebih luas dampaknya.
"Dan dalam rangka upaya dan mendorong kerja policy pemberantasan korupsi maka pembatasan remisi bagi terpidana korupsi menjadi penting," tegas dia.
"Oleh karena itu rumusan revisi atas PP itu, yang semakin menurunkan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi merupakan wujud inkonsistensi pemerintah. Ini akan menjadi langkah mundur pemerintah dalam memberantas korupsi," tutup dia. (Detikcom)
Dalam draf revisi itu di pasal 32 disebutkan, (1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana …..korupsi…lainnya dapat diberikan jika telah memenuhi persyaratan (a). berkelakuan baik dan (b), telah menjalani 1/3 (satu petiga) masa pidana." (2) selain persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1) bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak korupsi dan pencucian uang yuang telah membayar lunas denda dan uang penganti sesuai putusan pengadilan."
Status sebagai justice collaborator yang merupakan sayarat remisi dihilangkan. Padahal di PP dahulu, seorang koruptor bisa mendapat remisi apabila dia mau bekerjasama dengan penegak hukum.
![]() |
Ilustrasi |
"Pemerintah seharusnya justru lebih konsisten menerapkan policy "zero tolerance" bagi narapidana korupsi sesuai dengan atas Pasal 34 A Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012," terang Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, Kamis (11/8/2016).
Menurut dia, dengan aturan baru ini, pemerintah seakan akan lupa bahwa korupsi adalah kejahatan merusak dalam skala yang lebih luas dampaknya.
"Dan dalam rangka upaya dan mendorong kerja policy pemberantasan korupsi maka pembatasan remisi bagi terpidana korupsi menjadi penting," tegas dia.
"Oleh karena itu rumusan revisi atas PP itu, yang semakin menurunkan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi merupakan wujud inkonsistensi pemerintah. Ini akan menjadi langkah mundur pemerintah dalam memberantas korupsi," tutup dia. (Detikcom)
loading...
Post a Comment