Ketika Sipir Berserikat di Dalam Penjara
|
Narapidana di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 1900-1926. Foto: Tropenmuseum |
Menolak pemakaian cara kejam dan bengis di penjara. Bercita-cita mewujudkan penjara sebagai rumah pendidikan.
BAPANAS- TERIAKAN orang kesakitan terdengar dari penjara Nusakambangan, Jawa Tengah, pada 7 Oktober 1959 pukul 14.00. Seorang sipir ambruk terkena sabetan parang narapidana. Seorang sipir dan lain-lain, berhenti melakukan pelarian narapidana itu. Kalah cepat terkunci picu tembak, sipir itu tertembak dan tewas. Narapidana berhasil kabur. Para sipir berduka.
Besoknya para sipir melepas kepergian rekannya. Mereka meminta perhatian serius dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan para sipir di penjara. Sebab mereka sangat tinggi. "Tiap-setiap detik ada kebutuhan berjumpa dengan malaikat el maut," tulis Suara Buruh Kependjaraan , Oktober-November 1959.
Kehidupan sipir jarang tersorot, terhalang oleh fosil dan kompleksitas penjara. Pada masa kolonial Belanda, para sipir bumiputera tak punya kedudukan berarti. “Hanya terbatas pada lingkungan di lingkungan, aspirasi untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, karena kesempatan untuk itu tidak diberikan,” tulis Suara Buruh Kependjaraan , Desember 1954-Februari 1955.
Pendudukan Jepang pada 1942 mengubah nasib sipir bumiputera. “Semua jabatan di dalam Jawatan Kepenjaraan dapat diduduki oleh bangsa Indonesia.” Hidup mereka pun terjamin. Pakaian dan urusan perut tak jadi masalah. “Aku katakan subur makmur dan teratur,” kata seorang bekas sipir kepada Suara Buruh Kependjaraan , Maret-Mei 1957.
Jepang memiliki alasan menaikkan taraf hidup para sipir. Orang Jepang ingin menjaga kesetiaan para sipir pada Jepang. Seperti Belanda, Jepang memiliki kebijakan sebagai tempat untuk menyiksa dan membunuh demi terciptanya Ketertiban dan keteraturan. Di sini para sipir bumiputera kerap dilema karena menghadapi sesama anak bangsa.
Muak dengan pola Jepang, para sipir bumiputera mulai tak nyaman bekerja. Mereka berselisih dengan sipir Jepang. Puncaknya pada Agustus-September 1945. Sipir bumiputera bentrok dengan sipir Jepang di penjara Sragen, Jawa Tengah.
Kemerdekaan pada 1945 kata kunci pemerintah untuk penjara: dari tempat untuk menyiksa dan membunuh menjadi tempat untuk mendidik orang-orang terhukum. “Berusaha membangkitkan kembali orang-orang miskin ke kehendak yang kuat,” tulis Suara Buruh Kependjaraan , Juni-Agustus 1955.
Sipir bumiputera suka kekejaman dan kebengisan di penjara bukan cara tepat untuk melawan kejahatan. Gagasan ini menyatukan para sipir di antero negeri.
Mereka berkumpul di Sala pada 17 Januari 1946 dan mendirikan Serikat Sekerdja Kependjaraan (SSK). Kemudian SSK bergabung ke SOBSI pada akhir tahun 1946.
SSK menegaskan sendiri tidak berafiliasi ke partai politik apapun. SSK melakukan memperjuangkan saat para sipir. SSK percaya bahwa perbaikan semak para sipir bisa menciptakan suasana penjara berkualitas. Orang-orang terhukum akan berdaya guna menambah kembali ke masyarakat.
SSK berganti nama menjadi Serikat Buruh Kependjaraan (SBK) pada Kongres IV di Palembang pada tahun 1954. Melalui kongres ini, SBK mengadakan beberapa program perbaikan untuk Menghasilkan para sipir. Antara lain dengan perihal kepegawaian dan pelatihan teknis.
Terhadap perkembangan buruh di luar penjara, SBK berusaha terlibat. Contoh saat kenaikan harga-harga menjelang Konferensi Asia-Afrika dan Pemilihan Umum 1955. Upah buruh tetap dan pemerintah tidak berencana mengeluarkan peraturan tentang upah buruh. SBK pun mendorong pemerintah untuk menaikkan upah demi kenaikan harga.
Menjelang kongres VIII pada tahun 1960, SBK kembali memfokuskan nasib sipir. Paksa setelah terbunuhnya sipir di Nusakambangan pada Oktober 1959.
Menurut Dewan Pengurus SBK, sipir di Indonesia Berdiri 10.000 orang pada tahun 1960. Dari jumlah itu, 90 persen sipir bergabung ke SBK. Keadaan mereka memprihatinkan. Gaji ludes pada tengah bulan, rumah dinas tak tersedia, kesehatan sangat minim, dan tunjangan kematian belum diatur.
Tapi di masa-masa sulit itu, peran SBK tepatnya surut. Majalah terbitan mereka menghilang. Organisasi pun luntur.(Red/Historia)