JAKARTA,(BPN) – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan.
Selain situasi yang tidak pas karena Indonesia masih menghadapi pandemi COVID-19, secara substansi RUU Pas pun menimbulkan berbagai persoalan serius, utamanya mengenai upaya pemberantasan korupsi.
Bahkan, disebutkan sejumlah pihak terdapat beberapa pasal dalam RUU tersebut yang justru membahagiakan koruptor.
Padahal, kejahatan korupsi diakui secara internasional sebagai extraordinary crime, white collar crime, dan transnational crime yang berimplikasi mewajibkan setiap negara menerapkan aturan yang khusus bagi pelaku kejahatan finansial ini, mulai dari hukum acara, materiil, bahkan sampai perlakuan terhadap terpidana korupsi di Lapas.
"Melihat ketentuan yang tertuang dalam RUU-Pas ini rasanya kejahatan korupsi hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa saja oleh DPR dan juga pemerintah," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada awak media, Senin 18 Mei 2020.
Kurnia membeberkan sejumlah poin dalam RUU-Pas yang perlu dikritisi.
Menurut dia, RUU-Pas tidak secara jelas memaknai konsep pemberian hak kegiatan rekreasional pada tahanan maupun narapidana yang tercantum dalam Pasal 7 huruf c dan Pasal 9 huruf c.
Menukil pernyataan Muslim Ayub, anggota Komisi III dari PAN, pengertian hak kegiatan rekreasional itu nantinya para tahanan atau pun narapidana berhak berplesiran ke pusat perbelanjaan.
Kurnia menegaskan, alur logika demikian tidak dapat dibenarkan karena bagaimana mungkin seseorang yang sedang berada dalam tahanan ataupun pelaku kejahatan yang sudah terbukti bersalah dibenarkan melakukan kunjungan ke tempat-tempat hiburan.
Data yang dihimpun ICW setidaknya mencatat tujuh terpidana yang diduga melakukan plesiran saat menjalani masa hukuman di Lapas, seperti Eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq; Anggoro Widjojo; mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyito, mantan Wali Kota Bogor, Rachmat Yasin; mantan Bendum Partai Demokrat Nazaruddin; hingga mantan Ketua DPR Setya Novanto.
"Penting untuk dicatat, data-data dugaan plesiran ini untuk membantah logika frasa 'hak kegiatan rekreasional' sebagaimana dicantumkan dalam RUU-Pas.
Sederhananya, dengan RUU-Pas diprediksi akan semakin marak narapidana-narapidana yang akan melakukan plesiran disaat menjalani masa hukuman," kata Kurnia.
Selain itu, ICW juga mengkritisi tak adanya syarat khusus bagi napi korupsi mendapat remisi, cuti menjelang bebas maupun pembebasan bersyarat. Merujuk Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) praktis persyaratan narapidana kasus korupsi untuk kemudian mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, dan untuk bagian cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat mencantumkan ketentuan kewajiban telah menjalani dua per tiga dari masa pidana.
"Ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan narapidana tindak pidana umum lainnya," ujarnya.
Apalagi, RUU-Pas menghapus ketentuan PP 99 tahun 2012 yang memperketat syarat remisi bagi koruptor dan narapidana kejahatan luar biasa lainnya.
Kurnia menyatakan dengan dihapusnya ketentuan PP 99 dan mengembalikan PP Nomor 32 Tahun 1999 menunjukkan kemunduran pola pikir dari pembentuk UU. Hal ini lantaran PP 99 merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime.
"Sebab, dalam PP 99/2012 terdapat beberapa syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimiliasi maupun pembebasan bersyarat. Mulai dari harus menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remisi dan mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi dari penegak hukum sebelum memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat. Pengetatan model seperti ini tidak terakomodir dalam PP/32/1999," terangnya.
Selain substansi, ICW meminta pembahasan RUU-Pas dihentikan karena saat ini DPR dan pemerintah seharusnya fokus menanggulangi wabah virus corona.
Salah satunya dengan mengeluarkan paket kebijakan atau pun regulasi-regulasi yang mendukung hal tersebut.
"Namun yang dilakukan justru sebaliknya, DPR dan Pemerintah justru ingin mempercepat produk legislasi bermasalah seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Cipta Kerja, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU PAS," kata Kurnia.
Kurnia menambahkan, dengan dilanjutkannya pembahasan RUU-Pas bertentangan dengan suara masyarakat. Hal ini lantaran RUU-Pas merupakan salah satu RUU yang ditolak berbagai elemen masyarakat dengan menggelar aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu.
RUU-Pas ini juga menjauhkan efek jera kepada koruptor. Padahal, Lapas seharusnya menjadi ujung proses penanganan sebuah perkara.
Lebih tegas, Kurnia menyatakan, RUU-Pas menegasikan Kesepakatan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), terutama Pasal 30 ayat (5) yang secara tegas menyatakan negara peserta diwajibkan memperhitungkan ringan/beratnya kejahatan pelaku ketika mempertimbangkan kemungkinan pembebasan yang dipercepat atau pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi.
Sementara, Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi UNCAC dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 yang berkewajiban mengikuti setiap rekomendasi kesepakatan internasional ini.
RUU-Pas juga mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang telah menegaskan PP 99/2012 menjadi cermin keadilan karena menunjukkan pembedaan antara kejahatan biasa dengan kejahatan yang menelan biaya tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik serta tidak bertentangan dengan konstitusi serta tidak juga melanggar HAM.
"Sebab, remisi merupakan hak hukum bagi seorang narapidana korupsi dan jika ingin mendapatkannya wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang tetuang dalam PP 99/2012," kata dia.(Red/viva)