MATARAM,(BPN)- - Dugaan gratifikasi dan pungutan liar yang dilakukan terdakwa Kompol Tuti Maryati terbongkar di persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram.
Para saksi mengungkapkan banyaknya pungli di sel tahanan. Antara lain, uang sampah, bawa handphone (HP), hingga ruang khusus bercinta atau bilik asmara.
Dua saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang Rabu (31/7/2019) memberikan keterangan bagaimana Rumah Tahanan (Rutan) Polda NTB menjadi tempat Tuti menarik berbagai pungutan dari puluhan tahanan.
Mulai dari pungutan uang air minum Rp 5.000, sampah Rp 20.000, uang kamar Rp 100.000, sogokan bawa ponsel berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta.
Bahkan ada yang diterima cicilannya oleh mantan Kasubdit Pengamanan Tahanan (Pamtah) Dittahti Polda NTB itu.
Saksi Samsul Hadi mengaku diangkat Tuti menjadi kepala blok A tahanan narkoba. Tugasnya adalah menarik iuran dari para tahanan atas perintah dan sepengetahuan Tuti.
Namun dia juga tak luput dari ancaman membayar setoran, termasuk bayar uang pelicin agar bisa membawa ponsel ke dalam sel, sebesar Rp 1 juta.
"Saya bilang langsung pada Bu Tuti, saya tidak punya uang Rp 1 juta, saya hanya punya Rp 500.000, diterima juga uang saya itu Bu Hakim," kata Samsul.
Ketua Majelis Hakim Sri Sulastri sempat mempertanyakan mengapa Samsul ditunjuk menjadi kepala blok. Apakah karena harus rutin melapor pada Tuti, atau karena hal lain.
Samsul mengatakan dirinya ditugaskan menarik iuran.
"Kenapa ditarik iuran, seperti iuran air, apa di sel tidak ada air minum disediakan? Sampah apa yang dibersihkan dalam sel sampai harus bayar iuran, uang kamar, kasur, selimut, bawa hp, banyak sekali iurannya?" tanya Sri Sulastri.
Kata Samsul, dalam sebulan tahanan yang jumlahnya lebih dari 60 orang membutuhkan 10 galon air minum, dan itu semua ditanggung atau dibeli tahanan, per orang setorannya Rp 5.000.
Dalam persidangan juga muncul cerita tentang bayaran ruang indehoi atau bilik asmara di salah satu ruangan di lantai 3 Rutan Polda NTB.
Tahanan yang membutuhkan ruangan itu harus bayar Rp 150 ribu tiap masuk ruangan itu.
"Bayarnya ke siapa?" tanya hakim Sri Sulastri.
Samsul mengatakan diserahkan ke petugas jaga yang kemudian disetorkan pada Tuti.
Terungkap juga dalam persidangan bahwa tahanan narkoba ada di blok A atau lantai bawah, sementara blok C lantai tiga adalah tahanan provost atau anggota kepolisian yang bermasalah.
Anehnya, Dorfin Felix, WNA asal Perancis, yang kedapatan membawa 2,4 kilogram narkotika jenis sabu, awalnya di blok A dipindahkan oleh Tuti ke blok lain dan sendirian berada di ruang tahanan.
Selnya ditutup dengan selimut dan terdapat berbagai fasilitas di dalamnya, termasuk televisi dan jaringan internet, selimut, dan kasur.
Tuti bahkan membelikan Dorfin Felix ponsel merek Vivo, dari uang Dorfin sendiri yang dikirim orangtuanya dari Perancis.
Samsul mengatakan, Dorfin memang tahanan istimewa. Makanannya juga Samsul yang bawakan ke sel atas perintah Tuti.
Senada dengan Samsul Hadi, Agus Sulaiman yang juga tahanan narkoba, mengaku tidak membawa ponsel selama ditahan di Rutan Polda NTB, karena tak mau membayar ke Tuti.
Di hadapan Majelis Hakim, Agus menjelaskan bahwa yang mau bayar bisa bawa ponsel ke sel.
Sedangkan mereka yang tidak mau bayar dilarang membawa.
Anggota Mejelis Hakim, Fathur Rauzi bertanya pada saksi Agus, apakah saat masuk ke Rutan Polda, tahanan yang baru masuk diterangkan soal tata tertib dalam sel tahanan.
Agus mengatakan aturan itu dijelaskan dan bahkan dibacakan. Hanya saja kenyataannya banyak yang dilanggar, bahkan bisa dilanggar kalau setorannya besar.
"Tuti selalu bilang, kalau bawa HP akan saya sita. Kalau mau bayar bisa, tapi harus bayar kata terdakwa. Bisa ditawar, dari Rp 1 juta ditawar Rp 500 ribu," kata Agus.
Agus juga mengatakan bahwa soal perpindahan blok tahanan juga harus membayar kepada Tuti. Jika tidak, maka akan tetap ditempatkan di blok yang tidak diinginkan.
Sebagai kepala blok, Agus membenarkan di persidangan bahwa terkadang sel tahanan tidak terkunci, sehingga tahanan bisa keluar masuk di lorong blok.
Jaksa penuntut umum (JPU) Hasan Basri sempat mempertanyakan soal tata tertib di Rutan Polda NTB, seperti larangan membawa sajam, dan ponsel. “Apakah setiap tahanan diperingatkan soal itu?” tanya JPU.
Saksi Agus maupun Samsul menjawab hal tersebut disampaikan, tetapi setelah terdakwa memanggil para tahanan secara personal, maka semua peraturan itu bisa dilanggar.
Semua yang dikatakan saksi dibantah oleh terdakwa Tuti.
Hakim Sri Sulastri hanya mengingatkan Tuti akan konsekuensi hukuman jika tetap bersikap tidak mengakui semua yang dikatakan saksi.
Polda NTB bantah ada bilik asmara
Terkait dengan munculnya beragam pungutan liar dalam Rutan Polda NTB di persidangan kasus dugaan suap Kompol Tuti, Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Purnama yang dikonfirmasi, Kamis (1/7/2019), mengatakan tidak benar ada pungli di Rutan Polda NTB.
"Dalam SOP penjagaan tahanan tidak ada seperti yang disampaikan. Sudah dilakukan audit dan pemeriksaan khusus dari Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri," kata Purnama.
Purnama kembali menegaskan bahwa audit dan pemeriksaan dari Itwasum dilakukan setelah Dorfin Felix kabur.
Dia juga membantah ada bilik asmara di Rutan Polda NTB.
"Bila keterangan saksi yang disampaikan ada 'bilik asmara', itu juga tidak benar karena di lingkungan tahanan Polda NTB tidak ada ruangan khusus untuk itu, dan bisa dicek langsung," katanya.
Selebihnya, Purnama meminta publik mengawasi proses persidangan, dan mengikuti proses persidangan sampai ada kekuatan hukum tetap. (Red/Tribun)