BANDAR LAMPUNG,(BPN)- Sejumlah narapidana (napi) kasus korupsi ternyata masih bisa menikmati hidup nyaman meski sudah berada di dalam tahanan.
Fakta tersebut terungkap saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Lapas Sukamiskin, Bandung, Sabtu (21/7/2018) dini hari.
Pimpinan KPK mengungkap, uang yang harus dibayar napi koruptor untuk mendapat fasilitas bak hotel itu bervariasi, antara Rp 200 juta hingga Rp 500 juta.
Besaran uang itu menyesuaikan dengan fasilitas yang diterima, semisal TV, kulkas, AC, dan sebagainya.
Terbongkarnya fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin ternyata hanya satu bobroknya pengelolaan lapas di Indonesia.
KPK menduga, pemberian sejumlah fasilitas mewah itu terjadi di semua lapas di Indonesia.
Setelah OTT KPK tersebut, secara serentak, Kemenkum HAM melakukan inseksi mendadak (sidak) di lapas-lapas di Indonesia, termasuk Lapas Rajabasa, Bandar Lampung.
Bebas Bawa PSK
Di Lampung, pemberian fasilitas mewah dan tak masuk akal juga terungkap di Lapas Kalianda, Lampung Selatan (Lamsel) beberapa waktu lalu.
Tak cuma fasilitas mewah berupa alat elektronik, Kalapas Kalianda yang saat itu dijabat Muchlis Adjie, juga menyediakan layanan esek-esek.
Muchlis Adjie menjadi tersangka perantara peredaran narkoba di Lapas Kalianda, yang dikendalikan narapidana bernama Marzuli.
Kepala BNNP Lampung, Brigjen Pol Tagam Sinaga mengungkapkan, penyidik memperoleh berbagai fakta mengejutkan setelah memeriksa Muchlis selama 6x24 jam.
Di antaranya, Muchlis memberi kelonggaran kepada napi narkoba untuk menggunakan ponsel, hingga membawa masuk wanita penghibur (PSK) ke dalam lapas tanpa pemeriksaan.
Dalam kasus itu, Marzuli telah ditangkap oleh Tim BNNP Lampung karena mengendalikan peredaran narkoba dalam lapas.
Petugas menyita barang bukti berupa 4 kilogram sabu-sabu dan 4.000 butir pil ekstasi.
Padahal saat itu, Marzuli tengah menjalani hukuman pidana delapan tahun atas kasus yang sama.
Tagam mengatakan, fakta itu menunjukkan adanya sebuah kejahatan yang diatur secara terorganisasi.
"Mungkin ada yang bertanya-tanya, seperti yang pernah disampaikan Kepala BNN RI Komjen Heru Winarko (peredaran narkoba ada di Lapas)," ungkapnya, Kamis (24/5/2018).
"Ini terbukti, memasukkan narkoba dalam lapas sebanyak 4 kg dan ekstasi 4 ribu yang dikendalikan narapidana dan semua sudah kita proses dan tangani dengan baik," kata dia.
Tagam mengatakan, dari pemeriksaan, Muchlis Adji terbukti menerima aliran dana dari Marzuli.
Saat ditanya berapa kali Kalapas terima aliran dana, Tagam mengatakan bahwa Muchlis baru tiga kali menerima aliran tersebut.
"Pokoknya tiga kali terima, nominalnya nanti lah, kami lihat mutasi rekeningnya," ujarnya.
Padahal, lanjut Tagam, Muchlis mengetahui bahwa Marzuli adalah narapidana kasus narkotika namun membebaskan Marzuli memasukkan narkotika ke dalam lapas.
"Tidak hanya itu, bahkan dia (Marzuli), bebas memasukkan wanita ke dalam lapas tanpa pemeriksaan, tanpa meninggalkan KTP. Hal tersebut diketahui Muchlis. Jadi, ada jalur-jalur khusus untuk Marzuli," ungkapnya.
Terpisah, Plt Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Lampung Richard L Tobing mengungkapkan, selain bebas memasukkan narkoba dan wanita ke lapas, Marzuli juga bebas keluar masuk lapas dengan seizin dan sepengetahuan Muchlis.
"Sudah enam kali keluar masuk, ada yang izinnya karena berobat, tapi ternyata tidak. Itu pun dengan sepengetahuan Kalapas," ujarnya.
Menurut Tagam, perlakuan spesial kalapas terhadap Marzuli terjadi setelah Muchlis dikenalkan oleh istri kalapas Kalianda sebelumnya.
"Jadi setelah Muchlis ditugaskan ke Kalianda, istri kalapas sebelumnya datang menitipkan Marzuli kepada bapak ini," ungkapnya.
Tagam menuturkan, semenjak Muchlis dan Marzuli saling mengenal, kebutuhan lapas dipenuhi oleh Marzuli.
"Jadi, ada kebutuhan-kebutuhan lain di dalam lapas, Marzuli menjadi penanggung (keuangan), baik kegiatan ulang tahun, kegiatan olahraga bersama, yang mendanai Marzuli," ucapnya.
Richard membenarkan bahwa Marzuli kerap membantu keuangan setiap kegiatan di Lapas Kalianda.
"Memang dia ini sering membiayai kegiatan yang ada di Lapas, salah satunya pertandingan futsal antar Lapas se-Lampung yang digelar beberapa waktu lalu," tandasnya.
Kepala BNNP Lampung Brigjen Pol Tagam Sinaga mengatakan, pihaknya menjerat Kalapas nonaktif Kalianda, Muchlis Adjie dengan pasal berlapis.
Yaitu, Pasal 114 dan Pasal 132 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
"Sedangkan untuk TPPU (tindak pidana pencucian uang), masih kami dalami dan tetap berlanjut," ungkap Tagam, Kamis (24/5/2018).
Menurut Tagam, penahanan dilakukan karena Muchlis dinilai tidak kooperatif bahkan menghalangi penyidikan kasus penyelundupan 4 kg sabu dan 4.000 butir pil ekstasi ke dalam lapas.
"Jadi ketika kami meminta handphone tidak diberikan. Kami minta handphone lagi untuk kasus ini tidak diberikan, bahkan kami minta CCTV malah dirusak," katanya.
Keterlibatan Sosok Wanita
Kasus aliran dana transaksi narkoba yang menjerat mantan Kepala Lapas Kelas IIA Kalianda Muchlis Adjie kini memasuki babak baru.
Untuk mengetahui sejauh mana aliran dana tersebut mengalir, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung memanggil Andriani Dewi, Jumat, 29 Juni 2018.
Andriani adalah istri mantan Kalapas IIA Kalianda Gunawan Sutrisnadi, yang menjabat pada periode 2015-2017.
Gunawan saat ini menjabat sebagai Kalapas Paledang, Bogor, Jawa Barat.
Sebelumnya, Muchlis Adjie harus mendekam di hotel prodeo BNNP Lampung.
Ia terbukti menerima dana dari napi Lapas Kalianda Marzuli (38).
Marzuli mengendalikan bisnis narkoba dari dalam lapas.
Bahkan, ia mendapat fasilitas istimewa, yakni bebas keluar masuk lapas.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap Muchlis Adjie, ditemukan indikasi praktik tersebut sudah berjalan lama.
Muchlis mengaku mengenal Marzuli melalui Andriani Dewi.
Plt Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Lampung Richard PL Tobing mengakui adanya pemanggilan Andriani Dewi untuk dimintai keterangan.
"Dalam pemeriksaan sebelumnya kan Muchlis mengaku jika Ibu Andriani yang telah memperkenalkan Marzuli dari Kalapas Gunawan ke Kalapas Muchlis Adjie. Maka kalau kami mengamati, apa pentingnya istri seorang kalapas memperkenalkan seorang tahanan dari kalapas lama ke kalapas yang baru," ungkap Richard.
Menurut Richard, perkenalan itu tak ubahnya seperti meneruskan ‘tongkat estafet’.
"Apa kepentingannya dan apa yang didapat dari memperkenalkan itu? Itu yang jadi pertanyaan," sebutnya.
Richard menuturkan, Andriani sempat tidak kooperatif dalam pemeriksaan.
Ia kerap berkelit dan tidak mengaku telah memperkenalkan dan menitipkan Marzuli kepada Muchlis.
"Tapi pada akhirnya mengakui, bahwa dia memang memperkenalkan dan menitipkan tahanan atau tersangka (Marzuli) ke Kalapas Muchlis. Sejauh ini, (dalam keterangan) hanya menitipkan. Dulu sempat akan dipindah. Tapi, tidak jadi dipindah," bebernya.
Namun, lanjut Richard, Andriani mengaku yang diperkenalkan kepada Muchlis adalah orangtua Marzuli.
"Dalam pengakuannya, ia (Andriani) memperkenalkan orangtua Marzuli ke Kalapas Muchlis. Jadi orangtuanya, untuk menitipkan. Sedangkan, posisi Marzuli ada di dalam lapas. Maka, orangtuanya datang menghadap ke kalapas," tuturnya.
Fakta lain juga terungkap dari kasus tersebut.
Ternyata, selama Gunawan menjabat sebagai kalapas, Andriani tinggal di rumah Marzuli (38), narapidana yang mengendalikan transaksi narkoba dari dalam Lapas Kalianda.
Hal itu diungkapkan Plt Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Lampung Richard PL Tobing setelah memeriksa Andriani, Jumat, 29 Juni 2018.
"Bahkan, selama ini Ibu Gunawan (Andriani Dewi) tinggal di rumah Marzuli. Sampai ketika kejadian itu (penangkapan Marzuli dan ketiga rekannya), rumah tersebut tetap ditinggali oleh anak-ibu Gunawan. Barang-barangnya juga masih ada," ungkap Richard.(Red/Tribun)