PONTIANAK,(BPN) - Penulis JP 92 dan Peneliti Center for Detention Studies Lilis Lisnawati mengemukakan hasil survei kualitas Layanan Pemasyarakatan bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai bagian dari praktik pengawasan eksternal.
Survei ini dilakukan selama 4 periode dalam kurun waktu 2013 hingga 2014 di 12 institusi penahanan yang tersebar di Jakarta, Banten, Surabaya, Palembang, Bandung, Demak, Aceh, Makassar, Bali, Lampung, Kupang dan Pontianak.
Berdasarkan hasil survei, rata-rata tempat penahanan khusus perempuan sudah menerapkan kebutuhan pembangunan toilet yang tertutup sebagai bentuk perlindungan dan penghormtan kepada tahanan perempuan.
"Sedangkan penyediaan toilet khusus untuk ibu hamil belum diterapkan di semua tempat penahanan," katanya, Kamis (30/3/2017).
Dari 12 tempat penahanan, hanya Lapas Wanita Klas IIA Malang, Lapas Wanita Klas IIA Palembang dan Rutan Klas IIA Pondok Bambu yang sudah memberikan fasilitas toilet khusus bagi ibu hamil.
Ketersedian air bersih tidak menjadi masalah di 12 tempat penahanan. Namun beberapa Lapas masih mengalami kesulitan untuk pasokan air bersih.
Misalnya saja di Lapas Wanita Klas III Kupang dimana air harus selalu dipasok dengan menggunakan mobil tangki air karena Lapas belum tersedia sarana penampungan air dan mesin yang mengalirkan.
Dalam peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan narapidana perempun berhak mendapatkan pakaian seragam, kerja, celana dalam, bra dan alat salat per enam bulan, serta pemberian satu pak pembalut isi 12 perbulan.
"Namun faktanya kebutuhan sandang ini tak dapat diterapkan sepenuhnya. Minimnya anggaran diketahui sebagai penyebab tidak maksimalnya upaya pemenuhan kebutuhan tersebut sehingga tahanan wanita memenuhi kebutuhannya sendiri meski dalam keadaan tidak memiliki penghasilan sendiri," beber Lilis.
Lilis mengungkapkan, layanan kesehatan masih sulit untuk diakses oleh narapidana dan tahanan perempuan, terlebih lagi akses layanan kesehatan terhadap penyaakit yang kerap terjadi pada perempuan seperti kanker payudara.
Sulitnya akses layanan kesehatan ini tidak saja dikarenakan sarana dan prasarana medis yang terbatas, namun juga ketersediaan dokter yang sangat minim.
Catatan hasil survei menunjukkan bahwa setidaknya ada 5 dari 12 institusi penahanan yang disurvei ini tidak dilengkapi dengan dokter.
Data hasil survei menunjukkan rata-rata institusi penahanan dalam survei ini telah berupaya memenuhi kebutuhan ruang kunjungan yang kondusif bagi anak.
Hanya cabang Rutan Lhoknga di Aceh dan Lapas Klas II Bali yang belum memenuhi kebutuhan ini dengan baik karena peruntukkan kedua institusi sebenarnya bukan untuk narapidana dan tahanan perempuan.
"Status menumpang yang diemban oleh narapidan perempuan dikedua institusi tersebut mengakibatkan kebutuhan akan sarana prasarana ruang kunjungan yang kondusif bagi anak-abak belum dapat dipenuhi dengan baik," ungkapnya.
Selain itu berkaitan dengan pemisahan kamar ibu hamil, menyusui dan membawa anak menunjukkan 3 dari 12 institusi penahanan khusus perempuan sudah menerapkan pemisahan.
Berkaitan pemenuhan kebutuhan khusus bagi ibu hamil, menyusui dan membawa anak. Dari 12 institusi penahanan, hanya Lapas Wanita Klas IIA Malang yang sudah memenuhi keseluruhan kebutuhan ibu hamil.
Di sisi lain, proses melahirkan dengan dirujuk ke rumah sakit sudah dilakukan oleh hampir semua institusi penahanan yang disurvei.
"Hanya perempuan di Lapas Klas IIA Pontianak yang mengalami keterbatasan akses ini," jelasnya.
Berdasarkan pemaparan beberapa hasil survai tersebut disimpulkan tahanan perempuan mengalami situasi hidup yang tidak cukup layak selama menjalani masa penahanan.
Selain perampasan kemerdekaan, mereka juga harus mengalami keterbatasan hak untuk mengakses layanan-layanan dasar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.
"Meskipun ketentuan mengenai pemenuhan kebutuhan ini sudah diatur dalam aturan internasional maupun nasional," pungkasnya.(tribunnews)