JAKARTA,(BPN) – Bebasnya koruptor, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin masih berpolemik. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tetap keukeuh bahwa Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Nazaruddin sebagai “justice collaborator” (JC) yang dijadikan dasar pemberian remisi.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham Rika Aprianti menegaskan Surat Keterangan yang diterbitkan KPK untuk Nazaruddin, dikategorikan penetapan JC.
Untuk diketahui, JC merupakan pelaku kejahatan yang mengaku bersalah dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu kejahatan.
“Surat keterangan yang dikeluarkan KPK dikategorikan sebagai JC, sebagaimana pasal 34A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (18/6).
Ditegaskan Rika, dalam Surat Keterangan KPK Nomor: R-2250/55/06/2014, Nazaruddin disebut sudah menunjukkan kerja sama yang baik dalam mengungkap perkara tindak pidana korupsi.
Selain itu, Rika juga menyebut bahwa penetapan Nazaruddin sebagai JC sudah ditegaskan oleh pimpinan KPK periode sebelumnya.
“Status JC untuk Muhammad Nazaruddin juga ditegaskan pimpinan KPK pada 2017 dan dimuat di banyak media massa,” kata Rika.
Lebih lanjut, Rika juga mengatakan bahwa Nazaruddin telah membayar lunas denda vonis pengadilan sebesar Rp1,3 miliar. Sehingga Nazaruddin berhak mendapat remisi sejak 2014 sampai 2019.
“Pemberian remisi itu menegaskan status Nazaruddin sebagai JC, karena remisi tidak mungkin diberikan pada narapidana kasus korupsi yang tidak menjadi JC sesuai PP Nomor 99 Tahun 2012,” tegas Rika.
Untuk diketahui, berdasarkan Pasal 34A ayat 1 PP Nomor 99 Tahun 2012, dijelaskan bahwa pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana tertentu selain harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 34, juga harus memenuhi persyaratan, yaitu bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya.
Penegasan tersebut disampaikan Rika menanggapi bantahan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri yang menyebut pihaknya tak pernah mengeluarkan status JC bagi Nazaruddin.
Ali menyebut, Surat Keterangan Nomor R-2250/55/06/2014 yang diterbitkan tanggal 9 Juni 2014 dan Surat Nomor R.2576/55/06/2017 bertanggal 21 Juni 2017 bukanlah surat penetapan status JC untuk Nazaruddin.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meminta agar pembebasn Nazaruddin dianulir atau dibatalkan.
Dia menilai pemberian remisi degan total 4 tahun, 1 bulan kepada Nazaruddin sangat tidak masuk akal, karena bertentangan dengan Pasal 34 A PP 99/2012. Sebab salah satu syarat pemberian remisi terhadap terpidana kasus korupsi adalah setelah ditetapkan sebagai JC. Sementara KPK mengaku tidak pernah menetapkan status JC terhadap Nazaruddin.
“Sehingga, pemberian remisi kepada Nazaruddin ini semakin menguatkan indikasi bahwa Kemenkumham tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi dengan mengabaikan aspek penjeraan bagi pelaku kejahatan,” kata Kurnia dalam keterangannya.
Menurutnya berdasarkan putusan dua perkara korupsi yang menjerat Nazaruddin, seharusnya yang bersangkutan baru bisa bebas pada 2024 atau setelah menjalani masa pemidanaan 13 tahun penjara.
Dikatakannya, model pemberian remisi semacam ini, akan membuat pelaku korupsi tak memiliki efek jera.
“Keputusan Kemenkumham memberikan remisi pada Nazaruddin seakan mengabaikan kerja keras penegak hukum dalam membongkar praktik korupsi,” katanya.
Selain korupsi, Nazaruddin juga dinilai tak memiliki kelakuan baik. Sebab pada akhir 2019 Ombudsman menemukan ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibanding sel napi lain.
Jika temuan ini benar, semestinya Kemenkumham tidak dapat memberikan penilaian berlakuan baik pada Nazaruddin sebagaimana disinggung dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a PP 99/2012.
“Ditambah lagi poin berkelakuan baik tersebut merupakan salah satu syarat wajib untuk mendapatkan remisi,” katanya.
Untuk itu, ICW mendesak Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk membatalkan keputusan cuti menjelang bebas atas terpidana Muhammad Nazaruddin.
“Kami juga meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Menteri Hukum dan HAM karena telah abai dalam mengeluarkan keputusan,” katanya.
Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai berdasarkan Permenkumham, Nazaruddin memang mempunyai hak untuk mendapatkan bebas bersyarat.
“Cuti itu masih bagian dari pembinaan sebelum yang bersangkutan bebas,” jelasnya.
Namun, pemberian pembebasan bersyarat ini harusnya didasari oleh pertimbangan sosiologis. Termasuk, mengingat bagaimana saat Nazaruddin kabur dari kejaran KPK ke luar negeri.
“Artinya kan dia tidak kooperatif, ya. Kemudian, dia cenderung mencari kesalahan orang yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan hukum,” tegasnya.
“Ada beberapa orang yang diseret dia. Itu semua dalam perspektif tertentu dianggap bagus tapi kemudian bisa dibilang menjadi bagian balas dendam,” tambahnya.
Diketahui, Nazaruddin keluar dari LP Klas I Sukamiskin pada Minggu, 14 Juni. Pemberian cuti ini diberlakukan hingga selesainya masa tahanan pada 13 Agustus.
“Pada hari Minggu, 14 Juni 2020, Pukul 07.45 WIB dikeluarkan satu orang WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) atas nama M. Nazaruddin untuk melaksanakan Cuti Menjelang Bebas,” kata Kadivpas Kanwil Kemkumham Jawa Barat, Abdul Aris dalam keterangannya, Selasa (16/6).
Adapun dasar dikeluarkan Nazaruddin dari lapas karena dia telah mengantongi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: PAS-738.PK.01.04.06 Tahun 2020 tertanggal 10 Juni 2020 tentang Cuti Menjelang Bebas.
Nazaruddin merupakan terpidana dua perkara, yaitu korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011 dan suap proyek pengadaan yang dilakukan oleh PT Duta Graha Indah serta tindak pidana pencucian uang. Total hukuman Nazaruddin adalah 13 tahun penjara dan akumulasi denda sebesar Rp1,3 miliar.
Pada kasus Wisma Atlet, Nazaruddin terbukti menerima suap Rp4,6 miliar dari mantan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) M El Idris. Setelah divonis hakim, hukuman itu juga diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi 7 tahun dan denda Rp300 juta.
Lalu vonis Nazaruddin ditambah 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar karena terbukti secara sah dan meyakinkan menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang dari PT DGI dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek yang jumlahnya mencapai Rp40,37 miliar.
Nazaruddin seharusnya dibebaskan pada tahun 2025 jika sesuai dengan akumulasi pidana yang ia dapat. Namun, setelah memporeh berbagai remisi, masa pidananya pun selesai pada 13 Agustus 2020.(red/fin)