BAPANAS— Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), jajaran Pemerintah dan DPR Harus Serius Bahas Pembaharuan KUHAP, Kebijakan Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan dalam RKUHP untuk Pengarusutamaan Restorative Justice dan Reformasi Kebijakan Narkotika dengan Menggunakan Pendekatan Kesehatan.
Surya Anta, yang pernah menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rumah Tahanan Rutan Salemba, Jakarta Pusat itu membeberkan melalui cuitan dalam twitter miliknya. Dalam kicauannya tersebut dia mengungkapkan kondisi buruk pada Rutan Salemba mulai dari kondisi pemenuhan hak dasar WBP yang tidak memadai.
“Hak atas makanan hingga hak atas kesehatan, juga terjadinya praktik perdagangan gelap narkotika hingga komodifikasi untuk pemenuhan fasilitas layak di dalam Lapas. Kondisi ini dilaporkan pada masa sebelum pandemi COVID-19, sebelum pihak Kementerian Hukum dan HAM memberlakukan kebijakan percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat pada WBP untuk pencegahan penyebaran COVID-19,” tulis koalisi dalam rilis yang diterima media ini.
Koalisi Pemantau Peradilan menyatakan, temuan ini tidak mengejutkan, tetapi tetap memprihatinkan, seiring overcrowding Rutan dan Lapas yang terjadi terus menerus tanpa solusi yang komprehensif.
Sebagai catatan, sebelum kebijakan pelepasan WBP untuk pencegahan penyebaran COVID-19, per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal kapasitas Rutan dan Lapas hanya dapat menampung 132.335 orang.
“Sayangnya, solusi atas permasalahan tersebut tidak komprehensif dan hilang timbul. Pemerintah tidak begitu memperhatikan bahwa pangkal permasalahan kondisi overcrowding adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia,” terang Koalisi.
Koalisi menyatakan, Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan.
Hal ini disebabkan oleh adanya paradigma penegak hukum bahwa penahanan merupakan suatu keharusan. Padahal KUHAP menyediakan mekanisme lain, misalnya tahanan kota, tahanan rumah atau pun mekanisme penangguhan penahanan.
“Untuk penahanan Rutan, KUHAP pun sudah menyatakan bahwa seorang Tersangka “dapat” dikenai penahanan, dan bukan “harus” dikenai penahanan. Sikap seperti ini yang dikritik Permenkumham ini,” katanya.
Dikatakan, pola pikir praktis seperti ini sangat berdampak pada isi hunian di Lapas dan Rutan, karena semakin tinggi penghukuman dengan menggunakan media penahanan maka semakin tinggi jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia atau lazim disebut overcrowded”
KUHAP dalam ketentuan mengenai penahanan membatasi syarat dilakukannya penahanan berdasarkan 2 (dua) syarat, yakni syarat objektif dan subjektif. Sayangnya, syarat subjektif penggunaannya sangat bergantung dari penilaian aparat penegak hukum. Apabila aparat penegak hukum berpendapat bahwa pelaku akan melarikan diri, maka penahanan dapat dilakukan.
Kondisi ini, ditambahkan bahwa, kemudian diperburuk dengan ketiadaan mekanisme untuk mempertanyakan dipenuhinya syarat subjektif ini, karena pra-peradilan hanya terbatas memeriksa perihal administratif dan hanya dapat dilakukan apabila ada gugatan dari pihak yang haknya terlanggar.
Selain kritik terkait dengan penggunaan penahanan yang eksesif, Permenkumham No. 11 tahun 2017 tersebut juga menaruh catatan terhadap kondisi minimnya alternatif pemidanaan dalam sistem peradilan pidana saat ini. Kritik tersebut juga disampaikan untuk beberapa rumusan dalam RKUHP.
Visi undang-undang di Indonesia yang bernuansa penjara sesungguhnya adalah alasan sederhana mengapa Indonesia menghadapi permasalahan kondisi overvrowded pada rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan.
Sebagai contoh lain, dalam Rancangan KUHP (RKUHP) yang saat ini dibahas di DPR, hampir semua ancaman pidana meningkat drastis, beberapa di antaranya bahkan dapat mengakibatkan over kriminalisasi yang berujung pemenjaraan dan berbuah overcrowded.
“Sebut saja semisal pidana penghinaan yang ancamannya dalam RKUHP mencapai 5 (lima) tahun penjara atau pidana zina yang juga mencantumkan pidana penjara 5 (lima) tahun pula,” tulis Koalisi.
Sementara, Naskah Akademik RKUHP, Perumus RKUHP berkomitmen untuk menghadirkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan untuk menghilangkan dampak destruktif dari pemenjaraan.
Namun sayangnya, hingga draft RKUHP September 2019, keberadaan alternatif pidana baru nampaknya tidak akan berdampak positif dalam menangani masalah overcrowding, dengan jumlah yang sangat minim dan banyaknya syarat yang harus diberlakukan.
Tidak hanya terkait dengan penggunaan penahanan yang eksesif dan minimnya alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, Permenkumham No. 11 Tahun 2017 tersebut secara jelas mengkritik adanya kebijakan narkotika yang punitif dengan mengatakan bahwa kebijakan ini akan berdampak pada masalah pemenuhan hak kesehatan penghuni Lapas.
“Maka sudah bisa ditebak tingginya jumlah pengguna narkotika sangat berpengaruh terhadap jumlah Tahanan/Narapidana kasus penyalahgunaan narkotika yang masuk ke dalam Lapas/Rutan, meskipun tempat terbaik yang dibutuhkan mereka adalah pusat rehabilitasi,” tulis Koalisi.
Peningkatan pemenjaraan pada pengguna narkotika tersebut dipastikan berbanding lurus dengan prevalensi HIV/AIDS di Lapas/Rutan. Hal ini disinyalir terjadi melalui peredaran gelap narkotika yang tak henti-hentinya (dengan segala modus operandinya) diselundupkan ke dalam Lapas/Rutan dan praktik seksual yang tidak aman yang terjadi di Lapas/Rutan.
“Jumlah tersebut tentunya perlu menjadi perhatian khusus bagi pemangku kebijakan untuk menyadari bahwa penanganan penyalahgunaan narkotika di Lapas/Rutan memerlukan special treatment,” katanya.
Sebagai catatan, kebijakan narkotika yang mempromosikan pemenjaraan adalah kebijakan yang usang dan telah gagal di banyak negara. Meneruskan kriminalisasi terhadap pengguna dan pecandu narkotika sama dengan meneruskan kegagalan.
Per Maret 2020, 55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan sebanyak 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika. Bahkan sebelumnya di Februari 2020, 68% WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang.
Dokumen Permenkumham No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya bisa jadi kunci pemerintah untuk melakukan evaluasi mendasar dari kebijakan pidana di Indonesia.
Reformasi kebijakan pidana ini pun sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Pemerintah yang berkomitmen untuk mengarusutamakan penggunaan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana.
Salah satu poin penting adalah menghindarkan penahanan secara eksesif, menjamin optimalisasi alternatif penahanan non pemenjaraan dan mereformasi kebijakan narkotika untuk kembali pada pendekatan kesehatan masyarakat dengan menjamin pengguna dan pecandu narkotika tidak dikriminalisasi.
Sehingga koalisi Pemantau Peradilan memberikan rekomendasi solusi untuk perbaikan kondisi buruk Rutan dan Lapas harus dengan reformasi kebijakan pidana sebagai berikut:
Pemerintah dan DPR segera melakukan pembaruan KUHAP dan perbaikan sistem peradilan pidana serta memastikan judicial control/oversight yang lebih baik untuk mencegah penggunaan penahanan secara eksesif.
Pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap upaya reformasi hukum pidana (reformasi ketentuan pidana dalam RKUHP dan UU terkait Pidana di luar KUHP, mengefektifkan pidana denda, dan bentuk alternatif pemidanaan non-pemenjaraan lainnya).
Pemerintah segera mengubah kebijakan punitif menjadi kesehatan masyarakat untuk menangani narkotika dan menyelaraskan kebijakan pidana dengan semangat menghapuskan stigmatisasi bagi pengguna dan pecandu narkotika.(red/suarapapua)