|
Wakil Ketua Ombudsman Ninik Rahayu (kiri) dan Dirjen Pemasyarakatan Kemenkuman Sri Puguh Budi Utami (kanan) berpose setelah penyampaian hasil monitoring, evaluasi, dan sidak terhadap pelayanan lapas dan rutan di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Senin (24/9/2018) |
BAPANAS- Ombudsman RI melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Jumlahnya mencapai 55 gabungan lapas dan rutan di seluruh Indonesia.
Sidak yang dilengkapi evaluasi, pengawasan (monitoring), pengamatan khusus, dan analisis data itu menunjukkan bahwa pelayanan dan pengelolaan lapas serta rutan di Indonesia jauh dari standar yang diatur oleh Undang Undang (UU).
"Kami menemukannya lewat metode sidak dengan waktu dan hari yang tidak tentu. Dengan terencana, kami menemukan sejumlah fakta persoalan," tutur Wakil Ketua Ombudsman RI, Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di kantor Ombudsman di Kuningan, Jakarta, Senin (24/9/2018).
Pengelolaan di bawah standar itu antara lain meliputi pengawasan internal yang minim, kelebihan kapasitas (overload)--satu hal laten, dan potensi maladministrasi. Persoalan antar-lapas atau rutan pun berbeda-beda.
Salah satu yang disoroti Ombudsman adalah pelayanan terhadap narapidana atau dalam administrasi disebut warga binaan pemasyarakatan (WBP). Ninik menyebut banyak lapas belum memberi pelayanan memadai terhadap para napi.
Misalnya pemberian hak remisi. hak asimiliasi, hak pembebasan bersyarat, cuti melahirkan, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, dan hak rujutan lanjutan di luar lapas.
Ironisnya, para napi tak tahu bahwa mereka seharusnya mendapatkan pelayanan itu. Itu sebabnya mereka pun tak bisa mengadu atau mengeluhkan hak dasar itu.
Contohnya di Lapas IA Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara, 100 persen warga binaan tidak mengetahui mengenai tata cara mengajukan cuti menjelang bebas (CMB) atau cuti melahirkan atau pembebasan bersyarat. Bahkan hampir seluruh napi tidak mengetahui layanan pengaduan.
"Selama saya menjadi anggota Ombudsman 2,5 tahun, saya belum pernah mendapatkan pengaduan dari warga binaan. Jadi biasanya warga binaan penyampaian pengaduan melalui keluarganya atau dari pihak lapas ketika saya sidak ke sana," tutur Ninik.
Keadaan serupa terjadi di Lapas Kelas IIA Poliwali (Sulawesi Selatan), Lapas Kelas IIA Batam (Kepulauan Riau), dan Rutan Lhoknga (Aceh). Hampir seluruh napi memiliki pengetahuan rendah soal pelayanan hak.
Dan menurut Ninik, petugas Lapas atau rutan pun tidak melakukan sosialisasi yang memadai. Andai terdapat sosialisasi, hanya dilakukan ketika apel sehingga sulit dipahami oleh para warga binaan.
"Penyampaiannya terlalu cepat. Padahal terkait standar pelayanan hak, Kementerian Hukum dan HAM sudah masuk zona aman. Menjadi tugas Kemenkunkam untuk menjaga implementasi pelayanan hak ini terlaksana dengan baik," tegas Ninik.
Selain soal pelayanan terhadap warga binaan, Ombudsman juga menyoroti sarana dan prasarana. Urusan kesehatan bagi para warga binaan, misalnya, sungguh rendah,
Ketersediaan dokter di lapas atau rutan masih kurang. Ada beberapa lapas yang tidak memiliki dokter atau hanya memiliki bidan. Akibatnya, pelayanan kesehatan di klinik lapas atau rutan menjadi tak maksimal.
Soal makanan dan pemenuhan gizi warga binaan juga rendah. Namun, ini diduga disebabkan oleh anggaran minim karena hanya sebesar Rp14.500 per orang per hari.
Selain itu ada lapas atau rutan yang menggunakan beras sudah berkutu. Lantas cara memasaknya pun tidak tepat.
Kebutuhan air bersih pun jauh di bawah standar. Bahkan ada lapas atau rutan yang tak punya air minum layak. Warga binaan di lapas perempuan Jatimulyo Bandar Lampung, Lampung, misalnya harus membeli air minum seharga kurang lebih Rp15 ribu per galon.
Padahal, menurut Ninik, tak boleh ada hubungan keuangan antara lapas dengan warga binaan--termasuk memberi fasilitas tambahan untuk para warga binaan.
Di lapas Jatimulyo pula, warga binaan tidak mendapat hak remisi. Padahal hak pengurangan masa hukuman diatur oleh UU Nomor 12 tahun 1995.
"Ya sudah, Bu. Tiga tahun ya tiga tahun saja, lima tahun ya lima tahun saja," kata Ninik menirukan jawaban warga binaan yang ditemui.
Lain lagi di lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Ombudsman menemukan ketidakpatuhan terhadap tata tertib yang diatur oleh Peraturan Kemenkumham Nomor 6 tahun 2013.
Misalnya, dalam Pasal 4, warga binaan tak boleh mengunjungi warga binaan lain pada jam tertentu--kecuali ada izin disertai surat dari pihak berwenang. "Sudah jam 22, kami melihat ada warga binaan dengan warga binaan lain dan itu antar-selasar," ungkap Ninik.
Dan lapas Sukamiskin sudah dikenal karena berisi fasilitas mewah milik warga binaan, misalnya kepunyaan eks Ketua Golkar dan DPR RI Setya Novanto. Ombudsman menemukan televisi layar besar dan alat-alat olahraga di selasar lapas. Para warga binaan membelinya dengan patungan, termasuk membenahi kamar tidur.
Menurut Ninik, ini semua dimungkinkan dan terjadi lantaran Sukamiskin yang memang berisi para warga binaan kasus korupsi memiliki kamar individu. Jadi bukan satu kamar diisi beramai-ramai.
Ninik mengatakan seluruh hasil sidak sudah dilaporkan ke Kanwil dan Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham. Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Sri Budi Puguh Utami, menyambut baik laporan dari Ombudsman.
"Ini menjadi catatan untuk melakukan perbaikan di lapas. Bisa kami tindaklanjuti dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang." kata Utami yang hadir pula dalam jumpa pers bersama Ninik.
Kemenkunham juga akan berupaya memberi hak layanan dengan memanfaatkan teknologi. Salah satunya pemberian remisi lewat daring (online) sehingga prosesnya bisa berlangsung lebih cepat.
"Kami telah melakukan diskusi, kami menyusun rencana aksi untuk secara keseluruhan. Hal- hal yang bisa dilaksanakan pada 2018, pemenuhannya membutuhkan anggaran. Misalnya CCTV sehingga hal itu akan kami atensi pada 2019.
"Kami bekerja sama dengan Kementerian Keuangan soal catatan pemenuhan sarana dan prasana karena pada 2018 tidak dianggarkan. Kami akan tindaklanjuti pada 2019," ujar Utami.(Red/BA.Id)