BAPANAS/BANDA ACEH- KPK menolak rencana pemerintah mempermudah prosedur pemotongan hukuman bagi terpidana korupsi, yang tahun lalu sudah ditolak.
Bagaimanapun Wakil Ketua KPK, Laode Syarief, menyatakan sekarang pun usulan remisi koruptor datang hampir setiap pekan.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah rumusan Kementerian Hukum dan HAM, para terpidana kasus korupsi, narkoba dan terorisme akan lebih mudah mendapatkan pengurangan hukuman.
Semula, pengurangan hukuman ketiga pidana yang digolongkan Indonesia sebagai kejahatan berat itu hanya bisa diajukan dengan beberapa syarat.
Antara lain, pertama menjadi justice collaborator atau orang yang membantu aparat membongkar kejahatan terkait atau sejenis. Kedua harus mendapatkan persetujuan instansi terkait, seperti KPK, dan beberapa syarat tambahan lainnya.
Namun, jika rancangan peraturan baru ini disetujui, koruptor, bandar narkoba dan teroris bisa dengan mudah mendapatkan remisi.
Ditentang KPK
"KPK akan menolak," kata Wakil Ketua KPK, Laode Syarief kepada BBC Indonesia.
Laode menuturkan bahwa sekarangpun upaya memberi remisi bagi koruptor yang tak berhak sudah sering diajukan Kementerian Hukum dan HAM.
"Bahkan sekarang hampir setiap pekan, Kemenkum HAM mengirim surat pada KPK meminta agar (narapidana) diberikan (status) justice collaborator, untuk bisa mendapatkan remisi.
(Padahal) mereka tidak dalam statusjustice collaborator," kata Laode Syarief.
"Ya jelas selalu kami tolak."
Laoda Syarief menambahkan remisi sudah lama dicurigai diperdagangkan oleh pejabat tertentu dengan para narapidana.
Setiap tahunnya para narapidana berhak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman, menandai peringatan 17 Agustus, lebaran, Natal, dan hari raya agama lain.
Tetapi melalui PP 99 tahun 2012, para narapidana narkotika, korupsi dan terorisme, dikecualikan dan mendapat syarat tambahan, antara lain membantu membongkar kejahatan terkait atau sejenis.
Masalah kapasitas lapas
Dirjen Pemasyarakatan I Wayan Dusak menyebutkan, dasarnya adalah sebagai narapidana yang berhak atas hak-hak tersebut dan juga terkait dengan kapasitas berlebih penjara Indonesia.
Alasan yang bisa dierima oleh anggota DPR Komisi III dari PDI-P, Junimart Girsang.
"Setiap kali kami dari Komisi III berkunjung ke lapas-lapas di daerah, kami saksikan keadaannya tidak memadai. Lapas kelebihan kapasitas hingga 200%," katanya.
Namun Wakil Ketua KPK Laode Syarief menepis. "Jumlah narapidana korupsi kan sedikit sekali. Jadi kalau kelebihan kapasitas, (pengurangan hukuman) bisa diarahkan kepada narapidana kasus lain," tandasnya.
Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Esther membenarkan. Menurut catatannya, tak lebih dari 1% dari 180.000 an narapidana itu yang merupakan terpidana kasus korupsi.
"Jadi pemberian remisi yang berujung pada pembebasan mereka lebih cepat, tak akan menyumbang banyak pada pemecahan masalah kelebihan kapasitas penjara," kata Lalola Esther.
Bukan gagasan baru
Lalola Esther menambahkan, upaya Kemenhumham ini merupakan suatu akal-akalan.
"Kalau melihat riwayatnya, bisa dikatakan ini merupakan upaya pemerintah untuk mengakali dan meredam penolakan publik," jelasnya.
Gagasan pelonggaran remisi hukuman bagi koruptor memang bukan hal baru.
Menteri Yasonna Laoly sejak awal tahun 2015 sudah mengungkapkan niatnya untuk mengubah PP 99 yang dirancang oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM zaman presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Denny Indrayana.
Ide Yasonna Laoly saat itu langsung mendapat kecaman luas sampai gagasan itu pun pudar.
Belakangan, Kementerian Hukum dan HAM merumuskannya lagi dalam kemasan baru ini.
"Berbeda dengan tahun lalu, sekarang pemerintah tak menggunakan istilah revisi PP 99 / 2012. Mereka menyebutnya Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Warga Binaan.
Sepertinya berbeda, tetapi sebetulnya isinya sama, yaitu mengganti PP 99 agar memberi kemudahan remisi bagi koruptor dll," tandas Lalola.
Juru bicara Kementerian hukum dan HAM, Efendy Perangin-angin mengatakan rancangan ini baru tahap awal dan belum masuk Prolegnas.
"Sebetulnya yang difokuskan sekarang adalah yang terkait kasus narkoba. Karena 65.000 dari 185.000 penghuni rutan dan lapas, yang kapasitasnya hanya sekitar 70.000-80.000, adalah kasus narkoba."
"Dan sebagian besar bukanlah bandar, hanya pengguna biasa yang baru sekali atau nyoba-nyoba," katanya.
Namun informasi yang diperoleh BBC menyebutkan sudah ada pertemuan antara tim Kementerian Hukum dengan tim KPK untuk membahasa masalah itu.
Kemenhumkam sudah pula menjadwalkan kunjungan ke KPK untuk memaparkan yang disebut sebagai Laporan Penelitian Aspek Hukum Pemberian Remisi Narapidana Kasus Korupsi.
Bagaimanapun Wakil Ketua KPK, Laode Syarief, menyatakan sekarang pun usulan remisi koruptor datang hampir setiap pekan.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah rumusan Kementerian Hukum dan HAM, para terpidana kasus korupsi, narkoba dan terorisme akan lebih mudah mendapatkan pengurangan hukuman.
Semula, pengurangan hukuman ketiga pidana yang digolongkan Indonesia sebagai kejahatan berat itu hanya bisa diajukan dengan beberapa syarat.
Antara lain, pertama menjadi justice collaborator atau orang yang membantu aparat membongkar kejahatan terkait atau sejenis. Kedua harus mendapatkan persetujuan instansi terkait, seperti KPK, dan beberapa syarat tambahan lainnya.
Namun, jika rancangan peraturan baru ini disetujui, koruptor, bandar narkoba dan teroris bisa dengan mudah mendapatkan remisi.
![]() |
KPK tidak setuju adanya pemberian remisi terhadap napi korupsi |
Ditentang KPK
"KPK akan menolak," kata Wakil Ketua KPK, Laode Syarief kepada BBC Indonesia.
Laode menuturkan bahwa sekarangpun upaya memberi remisi bagi koruptor yang tak berhak sudah sering diajukan Kementerian Hukum dan HAM.
"Bahkan sekarang hampir setiap pekan, Kemenkum HAM mengirim surat pada KPK meminta agar (narapidana) diberikan (status) justice collaborator, untuk bisa mendapatkan remisi.
(Padahal) mereka tidak dalam statusjustice collaborator," kata Laode Syarief.
"Ya jelas selalu kami tolak."
Laoda Syarief menambahkan remisi sudah lama dicurigai diperdagangkan oleh pejabat tertentu dengan para narapidana.
Setiap tahunnya para narapidana berhak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman, menandai peringatan 17 Agustus, lebaran, Natal, dan hari raya agama lain.
Tetapi melalui PP 99 tahun 2012, para narapidana narkotika, korupsi dan terorisme, dikecualikan dan mendapat syarat tambahan, antara lain membantu membongkar kejahatan terkait atau sejenis.
Masalah kapasitas lapas
Dirjen Pemasyarakatan I Wayan Dusak menyebutkan, dasarnya adalah sebagai narapidana yang berhak atas hak-hak tersebut dan juga terkait dengan kapasitas berlebih penjara Indonesia.
Alasan yang bisa dierima oleh anggota DPR Komisi III dari PDI-P, Junimart Girsang.
"Setiap kali kami dari Komisi III berkunjung ke lapas-lapas di daerah, kami saksikan keadaannya tidak memadai. Lapas kelebihan kapasitas hingga 200%," katanya.
Namun Wakil Ketua KPK Laode Syarief menepis. "Jumlah narapidana korupsi kan sedikit sekali. Jadi kalau kelebihan kapasitas, (pengurangan hukuman) bisa diarahkan kepada narapidana kasus lain," tandasnya.
Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Esther membenarkan. Menurut catatannya, tak lebih dari 1% dari 180.000 an narapidana itu yang merupakan terpidana kasus korupsi.
"Jadi pemberian remisi yang berujung pada pembebasan mereka lebih cepat, tak akan menyumbang banyak pada pemecahan masalah kelebihan kapasitas penjara," kata Lalola Esther.
![]() |
Penolakan dari sejumlah elemen sipil dan masyarakat |
Bukan gagasan baru
Lalola Esther menambahkan, upaya Kemenhumham ini merupakan suatu akal-akalan.
"Kalau melihat riwayatnya, bisa dikatakan ini merupakan upaya pemerintah untuk mengakali dan meredam penolakan publik," jelasnya.
Gagasan pelonggaran remisi hukuman bagi koruptor memang bukan hal baru.
Menteri Yasonna Laoly sejak awal tahun 2015 sudah mengungkapkan niatnya untuk mengubah PP 99 yang dirancang oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM zaman presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Denny Indrayana.
Ide Yasonna Laoly saat itu langsung mendapat kecaman luas sampai gagasan itu pun pudar.
Belakangan, Kementerian Hukum dan HAM merumuskannya lagi dalam kemasan baru ini.
"Berbeda dengan tahun lalu, sekarang pemerintah tak menggunakan istilah revisi PP 99 / 2012. Mereka menyebutnya Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Warga Binaan.
Sepertinya berbeda, tetapi sebetulnya isinya sama, yaitu mengganti PP 99 agar memberi kemudahan remisi bagi koruptor dll," tandas Lalola.
Juru bicara Kementerian hukum dan HAM, Efendy Perangin-angin mengatakan rancangan ini baru tahap awal dan belum masuk Prolegnas.
"Sebetulnya yang difokuskan sekarang adalah yang terkait kasus narkoba. Karena 65.000 dari 185.000 penghuni rutan dan lapas, yang kapasitasnya hanya sekitar 70.000-80.000, adalah kasus narkoba."
"Dan sebagian besar bukanlah bandar, hanya pengguna biasa yang baru sekali atau nyoba-nyoba," katanya.
Namun informasi yang diperoleh BBC menyebutkan sudah ada pertemuan antara tim Kementerian Hukum dengan tim KPK untuk membahasa masalah itu.
Kemenhumkam sudah pula menjadwalkan kunjungan ke KPK untuk memaparkan yang disebut sebagai Laporan Penelitian Aspek Hukum Pemberian Remisi Narapidana Kasus Korupsi.
(bbc.com)
loading...
Post a Comment