JAKARTA,(BPN)- Rencana Kemenkum HAM merevisi PP 99/2012 dapat mengatasi over kapasitas penjara dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah, masalah itu harus ditanggung oleh semua lini, dari DPR hingga aparat penegak hukum.
"Paket kebijakan reformasi hukum untuk membenahi masalah seputar Lapas ini pada dasarnya dapat dibagi dalam 2 skema yaitu skema jangka menengah dan jangka pendek," kata Direktur Puskapsi Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (24/4/2017).
Skema jangka menengah yaitu:
1. Menambah kapasitas huni Lapas secara bertahap melalui pembangunan Lapas baru sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
2. Penambahan pegawai Lapas.
3. Melakukan pembenahan regulasi seputar peradilan pidana terpadu dengan menyiapkan pembaharuan KUHP Pidana, KUHAP, UU Narkotika, UU Pemasyarakatan dan segala peraturan turunannya.
"Pembaharuan dimaksud adalah untuk semakin menegaskan posisi pemidanaan sebagai pilihan sanksi paling akhir (ultimum remedium) dan mengadopsi jenis hukuman di luar hukuman penjara seperti kerja sosial dan lain-lain," ujar Bayu.
Sementara pembaruan UU Pemasyarakatan adalah untuk semakin menegaskan bahwa pemasyarakatan lebih diarahkan kepada penjeraan dan pembinaan. Selain itu juga menyederhanakan berbagai jenis hak-hak warga binaan dan kepastian kriteria serta prosedur untuk memperoleh hak-hak .
"Namun harus diakui skema jangka menengah pembenahan Lapas ini tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, padahal di satu sisi saat ini permasalahan over crowded Lapas telah menjadi semacam bom waktu yang bisa meledak kapan pun sebagaimana telah terjadi kerusuhan di beberapa Lapas dalam kurun waktu 1 tahun terakhir ini," papar Bayu.
Untuk itu sambil terus mempercepat pembaharuan berbagai regulasi, maka Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM harus mengambil langkah-langkah cepat dalam waktu dekat untuk mengatasi masalah over crowded Lapas tersebut.
![]() |
Ilustrasi |
"Mengingat seringkali dalam proses peradilan pidana terpadu kita yang masih belum sempurna para pengguna karena ketidakmampuannya membela diri sering dikenakan hukuman pidana sebagai pengedar yang berakibat lamanya menjalani hukuman di Lapas," cetus Bayu.
Keputusan Menkum HAM meninjau ulang pengetatan remisi bagi pengguna narkoba dan tidak mengutak-ngatik pengetatan remisi bagi pengedar besar/bandar narkoba dan koruptor, telah sesuai dengan politik hukum negara. Di mana saat ini Indonesia tengah gencar-gencarnya melakukan perang terhadap korupsi dan peredaran narkoba oleh para bandar besar.
"Kebijakan untuk mengatasi over crowded lapas dengan model revisi terbatas ini sekaligus menunjukkan bentuk responsifitas pemerintah terhadap aspirasi publik yang tetap menempatkan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan yang harus terus diperangi sampai tuntas," pungkas Bayu.
Pemikiran Bayu di atas juga disampaikan saat berdikusi bersama Menkum HAM Yasonna Laoly diskusi di Hotel JW Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan akhir pekan lalu.
Hadir dalam kesempatan mantan Wakil Ketua MK Harjono, mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan, guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Nyoman Serikat Putra Jaya dan Prof Adji Samekto, guru besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Hartiwiningsih dan guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho.
Tampak hadir pula ahli pencucian uang Yenti Garnasih, pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum Refly Harun, Direktur Pukat UGM Oce Madril dan Pjs Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari.
"Saya setuju PP 99 direvisi, tapi tidak setuju untuk pengedar dan produsen narkoba," kata guru besar Ilmu Hukum Pidana, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof I Nyoman Serikat Putra Jaya. (Detikcom)
loading...
Post a Comment