BAPANAS- Sekali lagi, terungkap bisnis narkoba dikendalikan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (lapas). Itu diungkapkan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Budi Waseso dalam jumpa pers (26/1/2015).
BNN beberapa waktu lalu menangkap GP (57), bandar narkoba di Perumahan Tebing Indah Permai, Kelurahan Bandar Utama, Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Ternyata GP adalah pelaku kawakan. Dia sudah 15 tahun main narkoba. Sempat dua kali dibui, di lapas Cipinang dan Nusakambangan (2000-2010).
GP tak pernah berhenti berdagang barang haram itu meski dia berada di balik jeruji besi. Modus bisnis barang haram GP, cukup unik: dari lapas ke lapas. Ia mendapat pasokan narkoba dari PC, seorang terpidana narkoba di lapas Cipinang. Selanjutnya GP mengedarkan sabu dan ekstasi tersebut ke empat bandar lain.
Nah, keempat jejaring GP pun semuanya masih menjadi terpidana narkoba. Mereka adalah SOD (di lapas Medaeng Surabaya), AM (lapas Nusakambangan), BOS (lapas Nusakambangan), dan AL (lapas Cipinang).
Dari fakta ini, tidak bisa dimungkiri lapas ibarat "sentra bisnis narkoba". Para bandar bisa leluasa menggerakkan jaringan peredaran narkoba dari dalam lapas. Menurut Buwas, para bandar justru merasa aman di dalam lapas karena tidak tersentuh BNN dan Polri.
Itulah sebabnya, Buwas mengancam akan melakukan tindakan keras ke lapas.
"Kalau nanti kami lakukan penyerbuan ke lapas, jangan disalahartikan kami melawan petugas lapas. Terbukti, beberapa kali ada keterlibatan oknum petugas lapas. Selama ini dibuat alasan terkait prosedur agar petugas kepolisian dan BNN tidak bisa masuk ke dalam lapas," ujar Buwas.
Pengendalian bisnis narkoba dari dalam lapas, bukan kali ini saja terungkap. Yang paling fenomenal terjadi di lapas Cipinang pada 2013. Saat itu terungkap lapas Cipinang dijadikan pabrik sabu-sabu. Sebanyak 10 orang diringkus, dijadikan tersangka termasuk pegawai lapas.
Namun rupanya kasus lapas Cipinang ini tidak menjadi pemicu bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, untuk bekerja lebih keras menghentikan bisnis narkoba dari dalam lapas.
Sejumlah kasus manajemen perdagangan narkoba dari dalam lapas terus terungkap. Baik di lapas Semarang, Surabaya, Medan, Yogya sampai kota-kota kecil lainnya. Modusnya sama, dilakukan melalui komunikasi hape dan internet.
Sesungguhnya, sangat masygul seorang narapidana bisa leluasa menggunakan hape dan koneksi internet di dalam lapas. Sebab alat komunikasi itu adalah barang terlarang bagi seorang narapidana. Petugas lapas pun mengaku sering melakukan sidak ke kamar tahanan, menggeledah apa yang dimiliki penghuni lapas.
Maka dugaan paling gampang, setiap kali ada kepemilikan hape oleh terpidana, berarti ada keterlibatan petugas lapas di situ. Demikian pula bila hape digunakan untuk bisnis narkoba, bisa diduga petugas tahu.
Selama ini Kementerian Hukukum dan HAM, mengaku kesulitan memantau bisnis narkoba dari dalam lapas. Padahal, sejak Oktober 2015 di kantor Kemenkum HAM, sudah dibangun control room, dengan alat yang canggih. Dari ruang pengawasan itu, rencananya 33 lapas bisa diawasi secara langsung.
Kesulitan klasik yang disampaikan dalam mengawasi bisnis narkoba dari dalam lapas, adalah soal kelebihan penghuni. Over kapasitas lapas memang sangat menghawatirkan. Hari ini, sesuai situs pusat data sistem pemasyarakatan milik Kemenkum HAM, terjadi kelebihan kapasitas penghuni sebesar 50 persen di seluruh lapas di Indonesia.
Namun bukan berarti, kelebihan kapasitas bisa dijadikan alasan pemakluman terhadap tugas pemasyarakatan. Komisi Hukum Nasional, membuat catatan aneka persoalan dalam lapas. Sitem rekrutmen petugas yang buruk, misalnya. Ada pula soal mentalitas petugas yang buruk. Sistem pengawasan juga tidak optimal. Yang parah, terjadinya praktik korupsi, mulai dari pungli, sampai perdagangan narkoba di dalam lapas.
Tugas perlawanan terhadap peredaran narkoba sesungguhnya tak hanya tugas BNN dan polisi semata. Instansi lain dari kementerian pendidikan sampai aparat hukum, termasuk lembaga pemasyarakatan harus ikut berperan serta.
Apa artinya bila BNN dan polisi sudah menangkap bandar dan pengedar narkoba. Lalu pengadilan mevonis dengan hukuman berat. Tapi sampai di lapas, mereka tidak dibina dan dimasyarakatkan. Tapi malah mendapat keleluasaan dan "pengawalan" dalam menjalankan bisnis narkobanya?
Para petugas lapas semestinya paham, bahwa narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Para pengedarnya semakin nekat melakukan perlawanan bahkan membunuh polisi yang hendak menangkapnya. Narkoba telah menimbulkan kerugian negara hingga Rp60 triliun setiap tahun. Padahal ancaman hukumannnya tak main-main.
Indonesia telah menjadi pasar terbesar narkoba di Asia. Pengguna narkoba di negeri ini juga bertambah sangat pesat. Juni 2015 pengguna Narkoba mencapai 4,2 juta orang. Namun, sampai dengan bulan November 2015 pengguna narkoba sudah mencapai 5,9 juta orang. Omset bisnis narkoba mencapai Rp63,1 triliun setiap tahun.
Jumlah terpidana narkoba juga sangat besar. Sampai Agustus 2015 ada sebanyak 50.764 orang, setara 29,34 persen penghuni lapas di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, berstatus pengguna narkoba sebanyak 18.419. Sedang berkategori bandar narkoba berjumlah 32.345 orang. Mereka ini tersebar di 60 lapas.
Bila lapas tidak segera memperbaiki manajemen pemasyarakatan dan pengawasan, khususnya terhadap bandar narkoba, apa yang dilakukan polisi dan BNN dalam memberantas narkoba tidak akan membuahkan hasil optimal.
Namun bila lapas benar dalam melakukan pengawasan terhadap narapidana, bisa dipastikan lapas memberikan andil besar dalam memutus rantai perdagangan narkoba di Indonesia. Menurut BNN 75 persen peredaran narkoba di Indonesia dikendalikan dari dalam lapas. (beritaagar)
BNN beberapa waktu lalu menangkap GP (57), bandar narkoba di Perumahan Tebing Indah Permai, Kelurahan Bandar Utama, Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Ternyata GP adalah pelaku kawakan. Dia sudah 15 tahun main narkoba. Sempat dua kali dibui, di lapas Cipinang dan Nusakambangan (2000-2010).
GP tak pernah berhenti berdagang barang haram itu meski dia berada di balik jeruji besi. Modus bisnis barang haram GP, cukup unik: dari lapas ke lapas. Ia mendapat pasokan narkoba dari PC, seorang terpidana narkoba di lapas Cipinang. Selanjutnya GP mengedarkan sabu dan ekstasi tersebut ke empat bandar lain.
Nah, keempat jejaring GP pun semuanya masih menjadi terpidana narkoba. Mereka adalah SOD (di lapas Medaeng Surabaya), AM (lapas Nusakambangan), BOS (lapas Nusakambangan), dan AL (lapas Cipinang).
Dari fakta ini, tidak bisa dimungkiri lapas ibarat "sentra bisnis narkoba". Para bandar bisa leluasa menggerakkan jaringan peredaran narkoba dari dalam lapas. Menurut Buwas, para bandar justru merasa aman di dalam lapas karena tidak tersentuh BNN dan Polri.
Itulah sebabnya, Buwas mengancam akan melakukan tindakan keras ke lapas.
"Kalau nanti kami lakukan penyerbuan ke lapas, jangan disalahartikan kami melawan petugas lapas. Terbukti, beberapa kali ada keterlibatan oknum petugas lapas. Selama ini dibuat alasan terkait prosedur agar petugas kepolisian dan BNN tidak bisa masuk ke dalam lapas," ujar Buwas.
![]() |
Kepala BNN Budi Waseso |
Pengendalian bisnis narkoba dari dalam lapas, bukan kali ini saja terungkap. Yang paling fenomenal terjadi di lapas Cipinang pada 2013. Saat itu terungkap lapas Cipinang dijadikan pabrik sabu-sabu. Sebanyak 10 orang diringkus, dijadikan tersangka termasuk pegawai lapas.
Namun rupanya kasus lapas Cipinang ini tidak menjadi pemicu bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, untuk bekerja lebih keras menghentikan bisnis narkoba dari dalam lapas.
Sejumlah kasus manajemen perdagangan narkoba dari dalam lapas terus terungkap. Baik di lapas Semarang, Surabaya, Medan, Yogya sampai kota-kota kecil lainnya. Modusnya sama, dilakukan melalui komunikasi hape dan internet.
Sesungguhnya, sangat masygul seorang narapidana bisa leluasa menggunakan hape dan koneksi internet di dalam lapas. Sebab alat komunikasi itu adalah barang terlarang bagi seorang narapidana. Petugas lapas pun mengaku sering melakukan sidak ke kamar tahanan, menggeledah apa yang dimiliki penghuni lapas.
Maka dugaan paling gampang, setiap kali ada kepemilikan hape oleh terpidana, berarti ada keterlibatan petugas lapas di situ. Demikian pula bila hape digunakan untuk bisnis narkoba, bisa diduga petugas tahu.
Selama ini Kementerian Hukukum dan HAM, mengaku kesulitan memantau bisnis narkoba dari dalam lapas. Padahal, sejak Oktober 2015 di kantor Kemenkum HAM, sudah dibangun control room, dengan alat yang canggih. Dari ruang pengawasan itu, rencananya 33 lapas bisa diawasi secara langsung.
Kesulitan klasik yang disampaikan dalam mengawasi bisnis narkoba dari dalam lapas, adalah soal kelebihan penghuni. Over kapasitas lapas memang sangat menghawatirkan. Hari ini, sesuai situs pusat data sistem pemasyarakatan milik Kemenkum HAM, terjadi kelebihan kapasitas penghuni sebesar 50 persen di seluruh lapas di Indonesia.
Namun bukan berarti, kelebihan kapasitas bisa dijadikan alasan pemakluman terhadap tugas pemasyarakatan. Komisi Hukum Nasional, membuat catatan aneka persoalan dalam lapas. Sitem rekrutmen petugas yang buruk, misalnya. Ada pula soal mentalitas petugas yang buruk. Sistem pengawasan juga tidak optimal. Yang parah, terjadinya praktik korupsi, mulai dari pungli, sampai perdagangan narkoba di dalam lapas.
Tugas perlawanan terhadap peredaran narkoba sesungguhnya tak hanya tugas BNN dan polisi semata. Instansi lain dari kementerian pendidikan sampai aparat hukum, termasuk lembaga pemasyarakatan harus ikut berperan serta.
Apa artinya bila BNN dan polisi sudah menangkap bandar dan pengedar narkoba. Lalu pengadilan mevonis dengan hukuman berat. Tapi sampai di lapas, mereka tidak dibina dan dimasyarakatkan. Tapi malah mendapat keleluasaan dan "pengawalan" dalam menjalankan bisnis narkobanya?
![]() |
Sindikat jaringan narkoba lapas kelas I medan |
Para petugas lapas semestinya paham, bahwa narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Para pengedarnya semakin nekat melakukan perlawanan bahkan membunuh polisi yang hendak menangkapnya. Narkoba telah menimbulkan kerugian negara hingga Rp60 triliun setiap tahun. Padahal ancaman hukumannnya tak main-main.
Indonesia telah menjadi pasar terbesar narkoba di Asia. Pengguna narkoba di negeri ini juga bertambah sangat pesat. Juni 2015 pengguna Narkoba mencapai 4,2 juta orang. Namun, sampai dengan bulan November 2015 pengguna narkoba sudah mencapai 5,9 juta orang. Omset bisnis narkoba mencapai Rp63,1 triliun setiap tahun.
Jumlah terpidana narkoba juga sangat besar. Sampai Agustus 2015 ada sebanyak 50.764 orang, setara 29,34 persen penghuni lapas di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, berstatus pengguna narkoba sebanyak 18.419. Sedang berkategori bandar narkoba berjumlah 32.345 orang. Mereka ini tersebar di 60 lapas.
Bila lapas tidak segera memperbaiki manajemen pemasyarakatan dan pengawasan, khususnya terhadap bandar narkoba, apa yang dilakukan polisi dan BNN dalam memberantas narkoba tidak akan membuahkan hasil optimal.
Namun bila lapas benar dalam melakukan pengawasan terhadap narapidana, bisa dipastikan lapas memberikan andil besar dalam memutus rantai perdagangan narkoba di Indonesia. Menurut BNN 75 persen peredaran narkoba di Indonesia dikendalikan dari dalam lapas. (beritaagar)
loading...
Post a Comment