BAPANAS-Bandar Narkoba yang sudah masuk bui ternyata tak lumpuh sepenuhnya. Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap ada transaksi mencurigakan sebesar Rp3,6 triliun.
Transaksi itu disamarkan dengan pembayaran tagihan barang konsumsi. PPATK menyebut pelaku mengendalikan transaksi dari bilik penjara.
Wakil Kepala PPATK, Agus Santoso menyatakan, lembaganya menemukan transaksi mencurigakan yang mengarah pada bandar narkoba. Yang mengejutkan, pelakunya ada dua orang. Mereka mengendalikan dari balik jeruji penjara. "Dikendalikan oleh dua tahanan," kata Agus Kamis (21/4) .
Menurut Agus, dua tahanan itu itu menyamarkan transaksinya dengan modus layering, alias mengatasnamakan orang lain. "Diduga transaksi itu dilakukan oleh kaki tangan mereka," kata Agus.
Dua terduga ini menggunakan kaki tangan yang berada di luar penjara, untuk bertransaksi dengan nilai sebesar itu. Namun profil anak buah mereka, tidak sesuai dengan jumlah uang yang ada.
Uang itu disamarkan dengan pencucian uang. Modusnya dilakukan lewat usaha money changer, jual beli menggunakan lingkaran pengusaha, serta invoice asli tapi palsu. "Misalnya impor AC tapi ditulis kipas angin," ujar Agus mencontohkan.
Uang itu dikirim dari Indonesia ke banyak negara dengan modus pembayaran tagihan barang konsumsi. "Ini jaringannya dengan kerjasama dengan judi online dan money changer dan perdagangan internasional palsu," ujar Agus. PPATK telah melaporkan transaksi ini ke Badan Narkotika Nasional (BNN).
Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso menyebut transaksi jumbo ini melibatkan pemain lama. "Ada Freddy Budiman salah satunya," kata pria yang akrab disapa Buwas ini, seperti dipetik dari Detik.com, Jumat (22/4).
Sedang nama lainnya sedang didalami BNN. Buwas menegaskan aliran dana tersebut merupakan jaringan kelas atas yang di beberapa Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Temuan ini bagi BNN bukan hal baru. Buwas menyatakan, BNN sudah mengantongi sejumlah nama terkait. "Dalam waktu dekat nama-nama itu akan segera dirilis," kata Buwas.
Nama-nama itu melibatkan jaringan besar internasional. Bandarnya biasanya ada di Malaysia dan Singapura. "Kalau Tiongkok hanya pengiriman," ujarnya. Buwas menyebut, BNN sedang menyelidiki jaringan ini.
Menurut catatan CNN Indonesia, Freddy Budiman ditangkap pada 28 April 2011 karena menyelundupkan 1,4 juta pil ekstasi dari Tiongkok. Lima bulan kemudian, ia menghuni Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, hingga dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas dakwaan menjadi otak penyelundupan.
Rentang November 2012 hingga Juli 2013, ia mendekam di Lapas Khusus Narkotika Cipinang. Selama berada di sel, Freddy ketahuan masih menjalankan bisnis narkotiknya.
Bisnis itu dikendalikan dari dalam penjara Cipinang. Pada 29 Juli 2013, ia dipindah ke Lapas Batu, Nusakambangan. Meski telah diawasi sipir, Freddy ketahuan masih menggerakkan peredaran narkotik. Pada April 2015, Freddy diduga menjadi otak produksi narkotik.
Tiga tahun lalu, Kepala Subdirektorat Heroin, Narkotika Alami, Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Slamet Pribadi menyebutkan, 70 persen peredaran narkoba di Indonesia dikendalikan oleh napi dari dalam Lapas.
Menurut penelitian BNN, pengendali bisnis ini biasanya napi yang telah divonis mati, namun belum dieksekusi. Ketika berada di dalam lapas, para pelaku narkoba justru mendapatkan tempat yang nyaman untuk melanjutkan bisnis haram tersebut.
Kabid Pemberantasan BNN Provinsi Jawa Timur AKBP Basuki Effendhy menjelaskan, kunci sukses napi bisa beroperasi karena tersedianya ponsel dan jaringan internet.
Narkoba dan uang sepenuhnya ada di luar penjara. "Bandar cukup mengatur jalur distribusi dari balik jeruji lewat ponselnya. Setelah dibayar, dia mengeceknya lewat e-banking," ungkapnya.(beritaagar)
Transaksi itu disamarkan dengan pembayaran tagihan barang konsumsi. PPATK menyebut pelaku mengendalikan transaksi dari bilik penjara.
Wakil Kepala PPATK, Agus Santoso menyatakan, lembaganya menemukan transaksi mencurigakan yang mengarah pada bandar narkoba. Yang mengejutkan, pelakunya ada dua orang. Mereka mengendalikan dari balik jeruji penjara. "Dikendalikan oleh dua tahanan," kata Agus Kamis (21/4) .
Menurut Agus, dua tahanan itu itu menyamarkan transaksinya dengan modus layering, alias mengatasnamakan orang lain. "Diduga transaksi itu dilakukan oleh kaki tangan mereka," kata Agus.
Dua terduga ini menggunakan kaki tangan yang berada di luar penjara, untuk bertransaksi dengan nilai sebesar itu. Namun profil anak buah mereka, tidak sesuai dengan jumlah uang yang ada.
Uang itu disamarkan dengan pencucian uang. Modusnya dilakukan lewat usaha money changer, jual beli menggunakan lingkaran pengusaha, serta invoice asli tapi palsu. "Misalnya impor AC tapi ditulis kipas angin," ujar Agus mencontohkan.
Uang itu dikirim dari Indonesia ke banyak negara dengan modus pembayaran tagihan barang konsumsi. "Ini jaringannya dengan kerjasama dengan judi online dan money changer dan perdagangan internasional palsu," ujar Agus. PPATK telah melaporkan transaksi ini ke Badan Narkotika Nasional (BNN).
Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso menyebut transaksi jumbo ini melibatkan pemain lama. "Ada Freddy Budiman salah satunya," kata pria yang akrab disapa Buwas ini, seperti dipetik dari Detik.com, Jumat (22/4).
Sedang nama lainnya sedang didalami BNN. Buwas menegaskan aliran dana tersebut merupakan jaringan kelas atas yang di beberapa Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Temuan ini bagi BNN bukan hal baru. Buwas menyatakan, BNN sudah mengantongi sejumlah nama terkait. "Dalam waktu dekat nama-nama itu akan segera dirilis," kata Buwas.
Nama-nama itu melibatkan jaringan besar internasional. Bandarnya biasanya ada di Malaysia dan Singapura. "Kalau Tiongkok hanya pengiriman," ujarnya. Buwas menyebut, BNN sedang menyelidiki jaringan ini.
Menurut catatan CNN Indonesia, Freddy Budiman ditangkap pada 28 April 2011 karena menyelundupkan 1,4 juta pil ekstasi dari Tiongkok. Lima bulan kemudian, ia menghuni Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, hingga dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas dakwaan menjadi otak penyelundupan.
![]() |
Komjen Budi Waseso |
Rentang November 2012 hingga Juli 2013, ia mendekam di Lapas Khusus Narkotika Cipinang. Selama berada di sel, Freddy ketahuan masih menjalankan bisnis narkotiknya.
Bisnis itu dikendalikan dari dalam penjara Cipinang. Pada 29 Juli 2013, ia dipindah ke Lapas Batu, Nusakambangan. Meski telah diawasi sipir, Freddy ketahuan masih menggerakkan peredaran narkotik. Pada April 2015, Freddy diduga menjadi otak produksi narkotik.
Tiga tahun lalu, Kepala Subdirektorat Heroin, Narkotika Alami, Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Slamet Pribadi menyebutkan, 70 persen peredaran narkoba di Indonesia dikendalikan oleh napi dari dalam Lapas.
Menurut penelitian BNN, pengendali bisnis ini biasanya napi yang telah divonis mati, namun belum dieksekusi. Ketika berada di dalam lapas, para pelaku narkoba justru mendapatkan tempat yang nyaman untuk melanjutkan bisnis haram tersebut.
Kabid Pemberantasan BNN Provinsi Jawa Timur AKBP Basuki Effendhy menjelaskan, kunci sukses napi bisa beroperasi karena tersedianya ponsel dan jaringan internet.
Narkoba dan uang sepenuhnya ada di luar penjara. "Bandar cukup mengatur jalur distribusi dari balik jeruji lewat ponselnya. Setelah dibayar, dia mengeceknya lewat e-banking," ungkapnya.(beritaagar)
loading...
Post a Comment