![]() |
Dindin Sudirman |
Nah masalahnya KPU letaknya dimana? Apakah lembaga Eksekutif, Legislatif, ataukah Yudikatif? KPU membuat aturan untuk mencabut hak warga negara yg dijalan UUD 1945 (hak dipilih), adakah kewenangan untuk tindakan itu, padahal bukan Badan legislatif ? Mencabut hak dipilih yang dijamin konstitusi, adalah wujud pemidanaan.
Pertanyaannya : mantan koruptor itu kesalahannya apa?, melakukan tindakan yang melanggar hukum pasal berapa? Bukankah perbuatan korupsinya sudah dihukum? Lalu mengapa dihukum lagi? Bukankah hak tersebut merupakan perbuatan Nebis in Idem dari negara? Lalu tentang kewenangan membuat aturan pemidanaan tersebut, apa dasar hukumnya? Demikian berkuasanya kah KPU sehingga bisa membuat aturan untuk mencabut hak warga negara yang dijamin UUD 1945? Kalau menurut hemat saya KPU itu adalah termasuk Badan Eksekutive yakni Badan yang melaksanakan UU.
Menurut Hans Kelsen, Badan Eksekutive mempunyai kewenangan untuk menghukum orang yang melanggar undang-undang yang menjadi kewenangannya (contoh Peradilan pajak). Yang jadi pertanyaannya adalah melakulan perbuatan apa dan melanggar pasal berapa, dan diancam hukuman apa, mantan koruptor tersebut dikaitkan dengan UU Pemilihan Umum? Itulah domain kewenangan KPU, tidak lebih tidak kurang, Dan tidak merambah kemana-mana (ingat adagium : power tend to corrupts, absolut power tend to power absolutly).
Saya kira wewenang yang paling penting yang dapat dilakukan oleh KPU adalah mengkondisikan agar rakyat lebih cerdas untuk memilih secara bijaksana, yakni jangan memilih Caleg yang tidak punya integritas.
Rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi, jangan mudah di tipu oleh mereka,dengan demikian, tindakan dan kebijakan tersebut, tidak menabrak aturan main dalam bernegara.
Minimal ada 4 hal yang bertentangan dengan aturan hukum, apabila KPU memaksakan aturan tentang karangan mantan napi koruptor untuk NYALEG. Dengan fakta bahwa larangan tersebut adalah domain wewenang Hakim yang diatur pasal 10.KUHP tentang pidana tambahan.
Oleh karena itu, aturan KPU tersebut kalau dipaksakan akan menabrak aturan hukum sebagai berikut:
1. KPU bukan Badan Yudikatif yang tidak punya kewenangan mempidana (kecuali pelanggaran dalam ruang lingkup tugasnya misalnya pelanggaran penyelenggaraan Pemilu).
2. KPU telah melakukan penghukuman tanpa persidangan.
3. KPU telah melanggar asas nebis in idem (menghukum dua kali dalam kasus yang sama), karena kesalahan koruptor sudah ditebus dengan yang bersangkutan telah menjalani pidana. Sehingga ia memperoleh predikat mantan narapidana.
4. Kebijakan tersebut bertentangan dg UU diatasnya yakni UU Pemilu dan pasal 28 UUD 1945.(Red/Rls)
loading...
Post a Comment