![]() |
Budi Waseso |
JAKARTA,(BPN)- Fakta baru kembali diungkap oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso (Buwas) tentang pengendalian narkotika dari dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) atau penjara. Dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (7/2), mengatakan seorang narapidana bernama Togiman alias Toge alias Tony, 60 tahun, memesan narkoba dari lapas.
Yang lebih miris lagi adalah Toge merupakan bandar narkoba yang sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan sebanyak dua kali. Barang bukti yang diamankan BNN dan Bea Cukai dalam kasus penyelundupan narkotika di Aceh dan Medan adalah 110 kg sabu dan 18.300 butir ekstasi. Operasi penangkapan itu dilakukan hanya sekitar 10 hari pada bulan Januari lalu.
Gelontoran sabu dan ekstasi itu berasal dari Malaysia. Toge mengendalikan jaringan narkotika dan memesan langsung barang haram itu untuk dikirim ke Indonesia. Semua aktivitas itu ia lakukan dari dalam lapas klas I Medan. Kalau Toge diajukan kembali ke pengadilan, dia mungkin bisa mendapat hukuman mati untuk yang ketiga kalinya.
Yang menjadi pertanyaan publik kemudian adalah bagaimana bisa seorang yang bernama Toge bisa mengendalikan dan memesan narkoba dari lapas secara leluasa. Apakah mungkin seorang napi yang sudah dua kali mendapat hukuman mati, bebas begitu saja di dalam lapas klas I medan? Mengapa kasus ini sampai lepas dari pengawasan pihak lapas atau sipir.
Akhirnya publik menduga-duga, jangan –jangan Toge bekerja sama dengan oknum-oknum di lapas tanjung gusta medan. Tidak mungkin Toge bisa memesan sabu atau ekstasi tanpa menggunakan alat komunikasi. Lalu, bagaimana alat komunikasi itu bisa di dapat bahkan bisa melakukan transaksi barang terlarang dari luar negeri.
Dugaaan adanya oknum yang “bermain” dengan napi untuk mengendalikan narkoba dari lapas, bukan sebuah isapan jempol. Lembaga Pemasyarakatan memang masih memiliki celah untuk terjadinya peredaran narkoba dari Lapas. Pada Oktober 2017, BNN mengungkap empat kasus narkoba di berbagai daerah.
Total barang bukti yang disita saat itu dari empat kasus tersebut kurang lebih 37,25 kg dan ekstasi 26.005 butir. Total ada 14 orang tersangka. Dari empat kasus itu, tiga kasus di antaranya melibatkan napi di dalam lapas. Di antaranya dari Lapas Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, LP Kelas II Binjai Sumatera Utara, dan napi LP Klas II A Tarakan, Kalimantan Utara. bahkan terakhir di lapas Banda aceh.
![]() |
Lapas Klas I Medan |
Pada Juni 2017, Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya mengungkap kasus peredaraan narkoba di Lapas Klas II Pemuda, Tangerang, Banten, yang melibatkan sipir bernama Ramston Malau, 31 tahun. Barang haram yang masuk ke dalam penjara ini merupakan pesanan dari narapidana bernama Armanta Ginting yang menghuni lapas tersebut.
Pada Maret 2017, sebanyak delapan orang sipir di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) dan Rutan di Provinsi Bengkulu positif mengkonsumsi narkoba. Subdit II Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya membongkar ‘gudang berjalan’ narkoba dari 4 orang tersangka pada November 2017. Jaringan ini juga dikendalikan oleh seorang napi berinisial DS alias DR di Lapas Cipinang, Jakarta Timur.
Melihat fenomena di atas, kita sampai pada salah satu kesimpulan bahwa oknum lapas yang terlibat jaringan narkoba itu bisa dikategorikan sebagai penghianat profesi, institusi, bangsa dan negara. Hukuman pemecatan saja belum cukup terhadap oknum lapas yang terlibat jaringan narkoba itu. Dari tahun ke tahun selalu saja muncul kembali peristiwa yang sama dari dalam lapas.
Jika cuma pemecatan, maka setelah keluar dari institusinya, oknum lapas itu malah bisa bekerja sama dengan jaringan narkoba. Artinya, tanpa hukuman tegas, oknum itu juga bisa menulari perbuatannya ke oknum lapas lainnya.
Bila di Malaysia, pengguna narkoba dihukum gantung, maka di negeri ini untuk oknum petugas lapas, Buwas mengusulkan, bukan digantung, tapi dicincang. Saking geramnya Buwas, dia mengatakan kalau perlu oknum lapas yang terlibat narkoba itu digantung seumur hidup, kaki di atas kepala di bawah.
Dipamerkan sehingga orang-orang kapok enggak ada yang coba-coba lagi. Tapi yang pasti adalah keterlibatan bandar narkotika atau oknum sipir di dalam lapas, menandakan perlunya perbaikan dari segi internal Kemenkumham.(Red/KJ)
loading...
Post a Comment