![]() |
Tim pansus hak angket KPK usai menemui napi korupsi di lapas suka miskin |
Para anggota pansus DPR itu notabene bertanya kepada para napi kasus korupsi apakah ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan KPK sewaktu penyelidikan dan penyidikan.
Entah pelanggaran HAM seperti apa yang dimaksud pansus DPR. Padahal, semua fakta kasus korupsi dan pengakuan para napi telah dibuka secara transparan di pengadilan sebelum hakim menjatuhkan vonis.
Entah pelanggaran HAM seperti apa yang dimaksud pansus DPR. Padahal, semua fakta kasus korupsi dan pengakuan para napi telah dibuka secara transparan di pengadilan sebelum hakim menjatuhkan vonis.
Anehnya, angket KPK diajukan DPR saat KPK mengusut kasus korupsi E-KTP. Karena itu, publik kian curiga bahwa penggunaan hak angket tersebut hanya bentuk perlawanan para oknum elite politik yang namanya disebut dalam berkas perkara kasus korupsi e-KTP.
Publik semakin yakin pula bahwa hak angket merupakan manuver anggota dewan untuk menekan KPK supaya tidak melanjutkan pengusutan kasus e-KTP. Akibatnya, banyak ketentuan mendasar dalam kode etik anggota DPR yang dituangkan dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 diterobos habis oleh pansus angket.
Publik semakin yakin pula bahwa hak angket merupakan manuver anggota dewan untuk menekan KPK supaya tidak melanjutkan pengusutan kasus e-KTP. Akibatnya, banyak ketentuan mendasar dalam kode etik anggota DPR yang dituangkan dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 diterobos habis oleh pansus angket.
Pertama, pansus melanggar pasal 2 ayat (1) kode etik DPR. Menurut pasal tersebut, anggota DPR dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.
Benarkah angket KPK digulirkan demi kepentingan bangsa dan negara, atau kepentingan sekelompok elite yang sedang resah gara-gara pengusutan kasus e-KTP?
Benarkah angket KPK digulirkan demi kepentingan bangsa dan negara, atau kepentingan sekelompok elite yang sedang resah gara-gara pengusutan kasus e-KTP?
Publik tentu kecewa atas dugaan korupsi e-KTP, yang menurut KPK merugikan negara Rp 2,3 triliun. Kekecewaan tersebut akan memuncak jika angket KPK malah mengganggu pengusutan kasus e-KTP. Itu berarti angket malah melawan kehendak publik.
Selain itu, menurut pasal 2 ayat (2) kode etik, anggota dewan bertanggung jawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugas secara adil, mematuhi hukum, serta menggunakan fungsi, tugas, serta wewenangnya demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Apakah pansus melaksanakan ini?
Faktanya, 110 pakar hukum tata negara telah menolak angket KPK. Penolakan tersebut didasari isi pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bahwa hak angket seharusnya terkait isu yang berdampak luas kepada kehidupan bermasyarakat.
Faktanya, 110 pakar hukum tata negara telah menolak angket KPK. Penolakan tersebut didasari isi pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bahwa hak angket seharusnya terkait isu yang berdampak luas kepada kehidupan bermasyarakat.
Hingga detik ini, belum ada langkah KPK yang dianggap berdampak luas ke masyarakat. Masyarakat justru masih percaya kepada KPK dalam pemberantasan korupsi. Kedua, pansus juga melanggar pasal 2 ayat (4) kode etik yang menyatakan bahwa anggota dewan harus selalu menjaga harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas dalam melaksanakan fungsi, tugas, serta wewenangnya.
Kunjungan anggota pansus ke rumah tahanan para koruptor itu mencari alasan dan dukungan dalam angket KPK merupakan penistaan terhadap derajat lembaga DPR sebagai wakil rakyat.
Kunjungan anggota pansus ke rumah tahanan para koruptor itu mencari alasan dan dukungan dalam angket KPK merupakan penistaan terhadap derajat lembaga DPR sebagai wakil rakyat.
Sebagai kumpulan orang-orang terhormat, pansus DPR sungguh tidak pantas meminta bukti-bukti atau kesaksian terkait proses hukum masa lalu dari para napi yang sudah terbukti bersalah secara hukum (incracht). Perilaku pansus tersebut sekaligus telah melanggar pasal 3 ayat (1) kode etik DPR tentang integritas.
Menurut pasal itu, anggota dewan harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang bisa merendahkan citra dan kehormatan DPR, baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR, menurut pandangan etika dan norma masyarakat.
Menurut pasal itu, anggota dewan harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang bisa merendahkan citra dan kehormatan DPR, baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR, menurut pandangan etika dan norma masyarakat.
Langgar Asas
Pejabat publik seharusnya bisa menjaga diri dalam menjalin komunikasi atau koordinasi dengan pihak lain, terutama terkait kasus korupsi. Seharusnya pansus meminta pendapat kepada publik (lewat dengar pendapat atau survei) serta para guru besar hukum yang memiliki integritas moral yang tinggi, tidak malah meminta pendapat kepada koruptor.
Cara berpikir pansus DPR malah terbalik dengan spirit kode etiknya. Apalagi, pasal 3 ayat (4) kode etik menegaskan bahwa anggota dewan harus menjaga nama baik dan kewibawaan DPR.
Ketiga, pansus melanggar asas pengawasan publik atas kinerja DPR. Berdasar pasal 5 ayat (2) kode etik, anggota DPR harus bersedia diawasi masyarakat. Ragam bentuk protes dan reaksi masyarakat di berbagi media seharusnya dipandang pansus angket sebagai bentuk pengawasan publik.
Ketiga, pansus melanggar asas pengawasan publik atas kinerja DPR. Berdasar pasal 5 ayat (2) kode etik, anggota DPR harus bersedia diawasi masyarakat. Ragam bentuk protes dan reaksi masyarakat di berbagi media seharusnya dipandang pansus angket sebagai bentuk pengawasan publik.
Terkait pemberantasan korupsi, DPR wajib mendengar suara rakyat, bukan suara napi. Selain itu, menurut ayat (4), anggota dewan harus mampu menjelaskan alasan yang logis dan berintegritas terkait alasan angket KPK.
Pansus DPR juga melanggar pasal 6 ayat (5) kode etik yang menyatakan bahwa anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk proses peradilan yang ditujukan untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain.
Pansus DPR juga melanggar pasal 6 ayat (5) kode etik yang menyatakan bahwa anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk proses peradilan yang ditujukan untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain.
Kasus e-KTP, tampaknya, mau dibawa DPR ke sidang politik terkait dengan kasus anggota Komisi II DPR Miryam Haryani yang mengatakan mendapat tekanan dari penyidik KPK. Ini adalah bentuk interupsi DPR terhadap penegakan hukum. Angket KPK telah melanggar asas penegakan hukum yang bebas (tanpa intervensi).
Lagi pula, pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah mengatur bahwa KPK merupakan lembaga yang independen (bebas) dari pengaruh kekuasaan mana pun. Jaksa KPK merupakan bagian dari sistem peradilan sehingga dia pun bebas menyebut nama dalam berkas tuntutan.(JPG)
Oleh: Dosen etika bisnis di FE Universitas Kristen Petra Surabaya
loading...
Post a Comment