BAPANAS/Jakarta– Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang saat ini ada di Indonesia dianggap sangat kurang oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly.
Ia menganggap Kemenkumham sangat kekurangan penjara untuk dapat menampung orang-orang yang sudah ditangkap ataupun diadili.
Tak hanya itu, sekalipun sudah ada lapas untuk anak, hal tersebut dianggap kurang dan sangatlah tidak memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang (UU).
“Kita punya Lapas LPK Anak di Bandung yang di situ ada sekolah SMP, SMA, itu yang ideal. Menurut aturan perundang-undangan anak begitulah seharusnya.
Tapi kan kita tidak punya anggaran ke situ, jauh untuk ke situ,” ucap Menkumham Yasonna kepada Liputan6.com saat menggelar inspeksi mendadak atau sidak di Lapas Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (9/3/2016).
Tak hanya lapas anak yang kurang, lanjut Menkumham, lapas wanita juga lapas narkotika juga dianggap sangat kurang. Selain permasalahan kurangnya lapas, Yasonna menjelaskan jika sebenarnya kejahatan itu terjadi karena adanya kesalahan pada produk sosial masyarakat.
“Persoalannya juga sekarang adalah kejahatannya produk sosial. Dia (para pelaku kejahatan) tidak datang dari langit tiba-tiba.
Saya adalah orang yang tidak mempercayai kejahatan itu karena faktor biologis. Bukan faktor biologis, sekolah saya di situ, dia adalah produk sosial, produk disintegrasi sosial. Jadi melihatnya harus berbeda,” papar Yasonna.
Karena itu, tambah dia, kita juga harus menangani masalah kejahatan secara bersama-sama khususnya masalah narkoba yang sudah menjadi ancaman bagi bangsa, tetapi dengan pendekatan dan melihatnya sebagai paradigma secara komprehensif.
“Jadi tidak boleh melihat (kejahatan) sepotong-sepotong. Ya harusnya menjadi suatu gerakan bersama untuk memberantas kejahatan khususnya kejahatan narkoba,” ujar Yasonna.
Paradigma harus diubah, kata dia, juga cara melihat para pelaku kejahatan itu harus diubah. Jangan semata-mata dimasukkan ke lapas lalu digojlok begitu saja.
“Itu primitif, itu zaman-zaman 200 atau 300 tahun yang lalu. Sekarang ini sudah zaman beradab. Konsepnya reintegration rehabilitation, itu konsepnya karena crime is social product, bukan biological product. Ini harus dipahami betul,” Yasonna menegaskan.
Menkumham Yasonna juga sangat memerhatikan kesejahteraan para stafnya. Ia bahkan sangat prihatin saat mengetahui ada stafnya yang menggadaikan tunjangan kinerjanya.
“Jadi memang kita ini kalau kesejahteraan kita dibandingkan yang lain, kebetulan kami sudah punya tunjangan kinerja 75%, sudah okelah, sudah relatif lebih oke. Tapi banyak sekarang yang kita dengar itu digadaiin,” ungkap Yasonna.
Yasonna mengaku kaget mengetahui ada stafnya yang menggadaikan tunjangan kinerja agar dapat bisa membeli rumah. Bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
“Agak besar juga sekaligus (uang gadainya) dapat dia bikin rumah, diangsurkan gajinya, ini persoalan juga. Karena kalau untuk kebutuhan hidup sehari-hari oke,
Tapi kan dia harus pikir dekat-dekat mau pensiun punya rumah juga, di Jakarta mahalnya ampun-ampun. Dia gadaikanlah beli tanah, bayar angsuran,” beber Yasonna.
Namun, menurut Menkumham, tunjangan kinerja itu harus dilakukan melalui perjuangan pada peningkatan APBN.
“Tapi saya kira ditargetkan supaya tunjangan kita 3 tahun naik sampai 100%. Namun itu semua tergantung mereka-mereka kinerjanya.
Kalau kinerjanya baik, transparansi keuangan, pengelolaan keuangannya baik, itu bisa dapat (naik),” ucap Yasonna.
“Secara perlahan, itu tergantung pada kemampuan APBN. Tetapi saya akan berusaha terus untuk berjuang kepada staf-staf kita yang bekerja secara sungguh-sungguh,” sambungnya.
Yasonna pun mengungkapkan, selaku Menkumham, ia menerapkan sistem rewards(penghargaan) dan punishment (hukuman).
“Anda melakukan prestasi yang baik, saya hargai. Anda melakukan tidak baik, mohon maaf. Itu barangkali yang akan kita lakukan.
Masih jauh dari sempurna apa yang kita lakukan ini karena memperbaiki suatu hal yang sudah sangat kompleks masalahnya. Tidak mudah mengubah sikap mental, mengubah ini tidak mudah,” papar Yasonna (BP)
Ia menganggap Kemenkumham sangat kekurangan penjara untuk dapat menampung orang-orang yang sudah ditangkap ataupun diadili.
Tak hanya itu, sekalipun sudah ada lapas untuk anak, hal tersebut dianggap kurang dan sangatlah tidak memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang (UU).
“Kita punya Lapas LPK Anak di Bandung yang di situ ada sekolah SMP, SMA, itu yang ideal. Menurut aturan perundang-undangan anak begitulah seharusnya.
Tapi kan kita tidak punya anggaran ke situ, jauh untuk ke situ,” ucap Menkumham Yasonna kepada Liputan6.com saat menggelar inspeksi mendadak atau sidak di Lapas Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (9/3/2016).
Tak hanya lapas anak yang kurang, lanjut Menkumham, lapas wanita juga lapas narkotika juga dianggap sangat kurang. Selain permasalahan kurangnya lapas, Yasonna menjelaskan jika sebenarnya kejahatan itu terjadi karena adanya kesalahan pada produk sosial masyarakat.
“Persoalannya juga sekarang adalah kejahatannya produk sosial. Dia (para pelaku kejahatan) tidak datang dari langit tiba-tiba.
Saya adalah orang yang tidak mempercayai kejahatan itu karena faktor biologis. Bukan faktor biologis, sekolah saya di situ, dia adalah produk sosial, produk disintegrasi sosial. Jadi melihatnya harus berbeda,” papar Yasonna.
Karena itu, tambah dia, kita juga harus menangani masalah kejahatan secara bersama-sama khususnya masalah narkoba yang sudah menjadi ancaman bagi bangsa, tetapi dengan pendekatan dan melihatnya sebagai paradigma secara komprehensif.
![]() |
Menkumham Saat lakukan sidak di LP Salemba |
Paradigma harus diubah, kata dia, juga cara melihat para pelaku kejahatan itu harus diubah. Jangan semata-mata dimasukkan ke lapas lalu digojlok begitu saja.
“Itu primitif, itu zaman-zaman 200 atau 300 tahun yang lalu. Sekarang ini sudah zaman beradab. Konsepnya reintegration rehabilitation, itu konsepnya karena crime is social product, bukan biological product. Ini harus dipahami betul,” Yasonna menegaskan.
Menkumham Yasonna juga sangat memerhatikan kesejahteraan para stafnya. Ia bahkan sangat prihatin saat mengetahui ada stafnya yang menggadaikan tunjangan kinerjanya.
“Jadi memang kita ini kalau kesejahteraan kita dibandingkan yang lain, kebetulan kami sudah punya tunjangan kinerja 75%, sudah okelah, sudah relatif lebih oke. Tapi banyak sekarang yang kita dengar itu digadaiin,” ungkap Yasonna.
Yasonna mengaku kaget mengetahui ada stafnya yang menggadaikan tunjangan kinerja agar dapat bisa membeli rumah. Bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
“Agak besar juga sekaligus (uang gadainya) dapat dia bikin rumah, diangsurkan gajinya, ini persoalan juga. Karena kalau untuk kebutuhan hidup sehari-hari oke,
Tapi kan dia harus pikir dekat-dekat mau pensiun punya rumah juga, di Jakarta mahalnya ampun-ampun. Dia gadaikanlah beli tanah, bayar angsuran,” beber Yasonna.
Namun, menurut Menkumham, tunjangan kinerja itu harus dilakukan melalui perjuangan pada peningkatan APBN.
“Tapi saya kira ditargetkan supaya tunjangan kita 3 tahun naik sampai 100%. Namun itu semua tergantung mereka-mereka kinerjanya.
Kalau kinerjanya baik, transparansi keuangan, pengelolaan keuangannya baik, itu bisa dapat (naik),” ucap Yasonna.
“Secara perlahan, itu tergantung pada kemampuan APBN. Tetapi saya akan berusaha terus untuk berjuang kepada staf-staf kita yang bekerja secara sungguh-sungguh,” sambungnya.
Yasonna pun mengungkapkan, selaku Menkumham, ia menerapkan sistem rewards(penghargaan) dan punishment (hukuman).
“Anda melakukan prestasi yang baik, saya hargai. Anda melakukan tidak baik, mohon maaf. Itu barangkali yang akan kita lakukan.
Masih jauh dari sempurna apa yang kita lakukan ini karena memperbaiki suatu hal yang sudah sangat kompleks masalahnya. Tidak mudah mengubah sikap mental, mengubah ini tidak mudah,” papar Yasonna (BP)
loading...
Post a Comment