BAPANAS- Dalam berjalannya waktu semua tabir permainan para cecunguk untuk mengkriminalisasi Labora Sitorus terbuka secara gambling. Menjadi semakin miris bahwa pengadilan sepihak yang dilakukan oleh media massa turut melanggengkan praktek-praktek culas, curang, dan licik dalam penegakan hukum tersebut.
Kita tahu, keadilan tidak mungkin ditegakkan melalui proses yang tidak adil. Karena itu, penegakan hukum mesti adil sejak tahap penyelidikan hingga putusan pengadilan. Jika prinsip ini dilanggar, maka terjadilah perampasan hak-hak warga oleh penegak hukum yang justru diberi amanat untuk melindungi hak-hak warga.
Kejanggalan yang terjadi diantaranya Error In Persona Labora Sitorus didakwa dengan tiga tindak pidana (Kehutanan, Migas, TPPU) dalam kaitannya dengan bisnis dua perusahaan yakni PT ROTUA dan PT SAW. Dalam konstruksi hukum yang linear, sebelum dakwaan tersebut dikenakan, penegak hukum mesti terlebih dahulu menemukan bukti-bukti meyakinkan bahwa Labora Sitorus merupakan pengelola kedua perusahaan tersebut sehingga pantas diminta pertanggungjawaban hukum atas ativitas perusahaan.
Sebelum sampai pada titik itu, penyidik juga mesti terlebih dahulu menemukan bukti-bukti meyakinkan bahwa kedua perusahaan itu telah melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan bisnis.
Langkah penting ini tidak tertuang dalam bukti bukti yang diajukan oleh JPU dalam persidangan dan patut dikatakan bahwa JPU melakukan kesalahan yang fatal dan serius dalam menetapkan subjek hukum ataukah kantong si JPU telah dipenuhi kertas kertas haram dari para cecunguk yang memainkan perkara ini.
Tidak adanya BAP dalam Berkas Perkara Ketika berkas perkara LS dilimpahkan ke kejaksaan, salah satu catatan JPU adalah agar penyidik melengkapi berkas tersebut dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Artinya Jaksapun mengakui bahwa LS belum pernah diperiksa sebagai tersangka ketika berkas perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan.
Ada tiga tindak pidana yang didakwakan kepada LS yakni Tindak Pidana Kehutanan, Tindak Pidana Migas dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ketika dakwaan tersebut didasarkan pada Laporan Polisi (LP) yang kemudian disertai Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) tapi kemudian tidak dilengkapi dengan BAP tersangka. rekayasa tersebut semakin kuat setelah menemukan satu-satunya BAP tersangka yang ada dalam resume berkas TPPU tapi dengan tanda tangan LS dalam BAP tersebut tidak identik sehingga pantas diduga sebagai hasil rekayasa (pemalsuan).
Khusus untuk Tindak Pidana Kehutanan, Laporan Polisi diberi nomor 65. Dari penelitian KOMNAS HAM terungkap bahwa terdapat tiga nomor laporan yang sama di Polda Papua dengan tanggal yang berbeda-beda dan juga dengan nama pelapor serta terlapor yang berbeda.
Keanehan ini pantas melahirkan kecurigaan akan adanya rekayasa dalam kasus ini. Pembangunan Opini Para cecunguk berdasi yang memainkan ini sadar bahwa kunci keberhasilan memainkan kasus ini bukan pada bukti-bukti dan argumen-argumen hukum yang meyakinkan, melainkan membangun opini publik.
Dan itulah yang terjadi. Sejak awal kasus ini bergulir sumber-sumber informasi dari kepolisian yang dikutip media praktis hanya berpusat tentang rekening gendut yang dimiliki oleh seorang anggota polisi berpangkat rendah. Polisi hendak membuktikan bahwa mereka dapat bertindak tegas terhadap anggota mereka yang menyimpang dari sumpah profesi.
Karena itu mereka mesti menemukan seseorang untuk dijadikan sebagai bukti kepada masyarakat. Skenario itu tampak jelas kalau kita cermati bagaimana kasus ini berawal. Polisi menemukan kayu ilegal di lokasi industri PT Rotua. Kendati pengawai PT Rotua berhasil membuktikan bahwa kayu-kayu tersebut legal dengan surat-surat ijin yang lengkap, polisi tetap memproses temuan tersebut dan membuat laporan, kemudian SPRINDIK, pemeriksaan saksi secara maraton.
Perhatian publik mulai teralihkan dari isu rekening gendut petinggi POLRI dan mulai terpusat pada kasus LS. Desakan untuk menuntaskan kasus tersebut semakin tinggi melalui media.
Penyidikanpun merembet ke mana-mana hingga melahirkan tiga dakwaan kepada LS: Kehutanan, Migas dan TPPU. Dalam persindangan terungkap bahwa perusahaan pengelohan kayu milik keluarga LS ternyata menjalankan bisnis secara legal.
Mereka bukan perambah hutan (illegal logging) melainkan perusahan pengolah kayu yang membeli kayu dari masyarakat dengan harga lebih baik dari perusahaan lain. Tuduhan bahwa mereka mengambil kayu dari hutan adat (ulayat) juga hanya dibuktikan oleh satu saksi yang sesungguhnya sangat lemah dari kaca mata hukum.
Dari persidangan juga terungkap bahwa polisi tidak pernah menelusuri asal-usul kayu yang jadi objek perkara tersebut. Salah langkah substansial dalam pembuktian kayu ilegal adalah melakukan lacak balak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.30/MENHUTII/2012.
Namun, opini publik yang telah berhasil dibentuk membuat LS menjadi terpidana kendati dengan bukti-bukti sangat lemah dan melalui prosedur penyidikan yang cacat hukum. Error in Procedure Dalam proses penahanan dan eksekusi putusan pengadilan, tidak ada Surat Perintah Penahanan (SP2). Dari segi legalitas, Jaksa tak memiliki wewenang mengekseskusi putusan hakim kalau tidak disertai SP2.
Lapas juga mesti menolak warga binaan baru jika tidak disertai dokumen lengkap seperti SP2 karena dokumen itu menjadi dasar bagi petugas Lapas untuk melakukan tindakan-tindakan penting terhadap warga binaan seperti menghitung remisi dan lain sebagainya.
Ketidakcermatan aparat penegak hukum dalam menerapkan prosedur-prosedur resmi dalam kasus ini pantas diduga sebagai cerminan penegakan hukum yang tidak independen dan praktek seperti ini benar-benar mencederai prinsip keadilan yang semestinya menjadi muara semua proses penegakan hukum.
Atas dasar ini semua kami meminta negara harus bertanggung jawab atas peradilan sesat dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Labora Sitorus sebagaimana yang telah dibuktikan dengan jelas dan juga fakta fakta hukum yang terjadi.
Ditambah lagi melalui hasil eksaminasi Komnas HAM yang membuktikan semua fakta fakta peradilan sesat yang terjadi yang mengakibatkan Saat ini,
Labora tengah menjalani masa hukuman 15 tahun penjara di Lapas Cipinang. Oleh karena itu kami yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Untuk Keadilan Rakyat (AMALAN RAKYAT) :
1. Meminta Kepada KA LAPAS CIPINANG untuk segera membebaskan Labora Sitorus karena ditahannya Labora Sitorus ditahan tanpa ada SP2 karena itulah dasar bagi petugas Lapas untuk melakukan tindakan kepada warga binaan.
2. Bebaskan Labora Sitorus sekarang juga, karna kami nilai banyak kecacatan hukum dan kejanggalan yang terjadi dalam bergulirnya kasus ini.
3. Kasus labora adalah rekayasa tingkat tinggi yang dilakukan Cecunguk aparat penegak hukum yang hanya menguntungkan dirinya dengan menjadikan Labora Sitorus Menjadi Kambing hitamnya.(Red/Rls)
loading...
Post a Comment