BAPANAS- Indonesia adalah negara hukum. Menurut Stahl sebuah negara hukum dicirikan antara lain bahwa penyelenggaraan pemerintahan (negara) dilaksanakan berdasarkan UU dan negara melindungi HAM warganya (termasuk pelanggar hukum, hatta seorang Teroris sekalipun).
Mustinya kalau kita mau konsisten denang aspek filosofis yang dimuat dalam UU nomor 8/1981 tentang KUHAP, bahwa negara melindungi HAM para pelanggar hukum dan untuk itu dari sudut pandang sosiologis melihat bahwa wewenang upaya paksa yang dimiliki oleh negara (polisi, jaksa dan hakim) pada hakekatnya adalah *kekuasaan* yang diberikan rakyat kepada mereka untuk menciptakan ketertiban berdasarkan kebenaran, keadilan dan HAM.
Seperti diketahui bahwa dalam rumus ilmu sosial ada sebuah prinsip bahwa *kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, makin besar kekuasaan makin besar pula untuk disalah-gunakan* (Action).
Dengan rumus ini, maka KUHAP mengatur bahwa kekuasaan harus diawasi (jangan sampai disalahgunakan) dengan konsep model *check and balances*. Dengan maksud agar kekuasaan dapat diawasi melalui kesisteman.
Dalam konteks wewenang upaya paksa (penahanan dan penyitaan barang dlm konteks kejahatan) proses check and balances dilakukan melalui pengaturan diferensiasi fungsi antara aparat penegak hukum.
Dibedakan antara institusi yang diberikan kewenangan untuk menahan dan menyita barang (polisi, jaksa, hakim) yang bertanggungjawab secara yuridis dengan institusi yang bertanggung jawab secara fisik yakni Rutan dan Rupbasan.
Tujuannya untuk menghindari kesalahan dan penyalahgunaan kekuasaan yang merupakan mandat rakyat tersebut agar terdapat proses saling mengawasi berdasarkan kesisteman.
Sehingga kekuasaan yang diberikan rakyat kepada institusi penegak hukum tidak menjadi *Senjata makan tuan*. Yang jadi korban adalah rakyat sendiri.
Mustinya dengan pola berpikir yang demikian maka yang harus *paling keberatan* dengan fenomena Rutan dan Rupbasan yang berada di luar Kemenkumham itu adalah Kemenkumham sendiri.
Pembiaran fenomena diatas akan berdampak kepada *pelanggaran HAM* (yang menjadi tusi utama Kemenkumham) secara tersembunyi karena proses saling mengawasi berdasarkan sistem (chek and balances) tidak dapat bekerja sebagaimans mustinya.
Hal ini bukan soal rebutan tugas, tapi soal konsistensi bangsa dalam menegakan konstitusi dan UU. Disinilah perlunya *negara (wan) hadir* untuk menjaga agar UU tidak dilanggar oleh aparatur hukum itu sendiri.
Apabila kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung (sdm, sarpras, anggaran dll) belum ada, maka tugas Kemenkumham lah (sesuai tusinya) untuk merealisasikannya.
Daalm penjelasan pasal 22 KUHAP (yang mengatur penahanan Rutan) dinyatakan bahwa : "Selama blm ada Rutan di tempat yang bersangkutan penahanan dapat dilakukan di kantor Kepolisian, di kantor Kejaksaan, di Lapas, di rumah sakit dan dalam keadaan memaksa di tempat lain".
Penjelasan psl ini, menegaskan (dapat diartikan) bahwa apabila di kabupaten/kota tersebut terdapat Rutan (dlm PP 27/1983 ditetapkan bahwa keberadaan Rutan di setiap kabupaten/kota) maka keberadaan Rutan di luar Kemenkumham dilarang (karena menyalahi prinsip check and balances).
Lalu terkait dengan kewenangan Menkumham untuk membentuk Cabang Rutan diatur dalam PP 27/1983 pasal 18 (2) yg berbunyi : "Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk atau menunjuk Rutan di luar tempat sebagaimana dimaksud dlm ayat 1 (kabupaten/kota) yang merupakan cabang dari Rutan".
Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa "Cabang Rutan bertempat kedudukan di dalam wilayah Kecamatan" (hal ini menunjukan juga keberadaan Rutan di setiap Polres sudah menyalahi aturan ini karena kedudukan Polres berada di kabupaten/kota yang disana terdapat Rutan milik Kemenkumham)
Dalam ayat (3) berbunyi "Kepala Cabang Rutan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri". Dalam penjelasan ayat tersebut berbunyi : "Kepala Cabang Rutan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul pimpinan yang bersangkutan"
Dari pasal-pasal tersebut diatas, jelas bahwa tanggungjawab fisik tahanan ada pada Kemenkumham (cq Karutan). Dan dalam hal itu tidak bisa didelegasikan ke institusi lain (polisi, jaksa, hakim).
Dengan kontruksi berpikir demikian maka pembentukan Rutan dibawah kendali institusi lain, dapat dianggap bahwa Kemenkumham telah lari dari mandat yang diberikan negara selaku penanggungjawab secara fisik para tahanan Rutan.
Dan institusi lain yang menyelenggarakan Rutan (walaupun ada ijin, namun disamping itu saya yakin pada umumnya Rutan di Polres masih belum ada ijin dari Menkumham dan Kepala Cabang Rutannya juga tidak ditunjuk Menkumham) adalah bentuk dari pengambilan tugas dan wewenang institusi lain.
Ini menurut tafsir yang diatur oleh undang-undang, berdasarkan ilmu hukum. Tentu kesimpulannya akan berbicara lain kalau penafsirannya tidak disertai dengan landasan filosofis dan landasan sosiologisnya.(Red/Rls)
loading...
Post a Comment