BANDUNG,(BPN)- Lapas Sukamiskin yang belakangan menjadi sorotan lantaran pelesirannya terpidana korupsi yakni, Anggoro Widjojo, Rachmat Yasin dan Romi Herton harus dievaluasi total.
Sebab, pelesirannya napi dari Sukamiskin menunjukan bahwa terdapat ketimpangan standar layanan yang hanya menguntungkan napi-napi yang memiliki uang banyak di dalam lapas.
"Khusus di Lapas Sukamiskin, kondisi tersebut hanya dapat diakses bagi penghuni lapas yang mampu atau kaya. Umumnya narapidana korupsi memiliki kemampuan lebih dibandingkan narapidana lainnya," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono, di Jakarta, Rabu (8/2).
Menurut Supriyadi, terjadinya praktik diskriminasi di dalam lapas bukan menjadi rahasia umum lagi. Celakanya, hal itu telah menjadi tradisi karena pemerintah tidak mampu menyediakan pelayanan yang merata akibat kelebihan penghuni (overcapacity).
Imbasnya, napi-napi yang kaya mendapatkan fasilitas yang memadai ketimbang napi-napi lainnya.
Pihaknya mempertanyakan model pengawasan ketat yang dijanjikan pemerintah terhadap koruptor dengan mengkhususkan Lapas Sukamiskin.
Sebab, sejak 2012-2017 tidak terdapat bukti pembinaan khusus terhadap napi korupsi sebagaimana yang diwacanakan pemerintahan Presiden SBY saat menjadikan Sukamiskin menjadi lapas khusus koruptor.
"Bahkan pengawasan lebih ketat yang dijanjikan pemerintah terbantahkan dengan temuan dari berbagai investigasi di lapas tersebut," katanya.
Pemerintahan Presiden SBY mengkhususkan Lapas Sukamiskin menampung terpidana korupsi dengan pertimbangan pelaku korupsi sebagai kejahatan kerah putih memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi ketimbang pelaku pidana lainnya.
Dengan begitu pemerintah menganggap pembinaan napi korupsi tidak bisa disatukan dengan napi pidana umum. Di Sukamiskin, masing-masing napi korupsi mendapatkan satu sel yang tujuannya untuk memperketat pengawasan.
Model tersebut, didukung ICJR dengan catatan harus diberlakukan di seluruh lapas di Indonesia. Namun adanya kasus napi pelesiran menunjukan kondisi standar layanan yang buruk terhadap hak-hak napi yang harus dievaluasi oleh pemerintah.
"Kondisi itu menunjukkan bahwa apa yang ada dalam Lapas Sukamiskin dapat menimbulkan praktik diskriminasi. Karena seluruh fasilitas dan suasana kondusif tersebut difasilitasi oleh penghuni yang mampu bukan oleh pemerintah," jelas Supriyadi.
ICJR meyakini pemerintah tidak dapat memastikan seluruh napi mendapatkan layanan seperti yang ada di Sukamiskin karena per Januari 2017 saja jumlah penghuni lapas mencapai 206.844 orang. Sedangkan kapasitas lapas hanya untuk 119.202 orang. Artinya, kelebihan penghuni mencapai 74% dari kapasitas yang tersedia.
"Karena masalah kelebihan beban penghuni ini mengakibatkan pemerintah tidak lagi fokus untuk menyediakan pelayanan baik, namun hanya cukup pada indikator ketersediaan tempat di dalam lapas.
Kondisi inilah yang memicu para penghuni harus mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan kondisi layak di dalam lapas.Bagi penghuni miskin atau tidak mampu, penahanan dan lapas adalah neraka," ungkapnya.
Penelitian yang dilakukan ICJR tahun 2014 mengungkapkan adanya beban biaya langsung terhadap tahanan dari keluarga akibat penahanan paksa. Padahal, hampir di semua kasus, keluarga kehilangan pencari nafkah atau kehilangan mata pencaharian namun dibebani biaya tambahan untuk membantu hidup tahanan berkisar Rp 600.000-Rp 5.500.000.
"Kondisi ini yang dapat dianggap sebagai kondisi rawan bagi penghuni Lapas yang miskin, sebab seluruh fasilitas baik hanya akan mampu dipenuhi oleh penghuni lapas kaya," katanya.
Pihaknya mengusulkan pemerintah, dalam hal ini Kemkumham mengevaluasi kebijakan pemidanaan di Indonesia untuk mengantisipasi kelebihan kapasitas di lapas dengan tidak menggunakan pendekatan pidana penjara.
Pasalnya, kondisi kelebihan penghuni dalam lapas dapat memperburuk penghuni yang tidak mampu. Sedangkan publik meyakini tidak semua orang yang berada dalam penjara itu penjahat dan tidak semua orang di luar penjara itu baik.(beritasatu)
loading...
Post a Comment