JAKARTA,(BPN) - Ombudsman RI mendapati sekitar 963 warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang tidak mendapatkan hak mereka sebagaimana mestinya. Hak tersebut antara lain hak remisi, hak pembebasan bersyarat, hak cuti bersyarat, hak cuti menjelang bebas dan hak lain terkait pengurangan masa hukuman.
Data tersebut didapatkan dari kunjungan Ombudsman ke 4 lapas di Indonesia. Lapas tersebut adalah Lapas Kelas IIA Pekanbaru ada 726 kasus, Lapas Kelas IIA Bekasi ditemukan 192 kasus, Lapas Kelas IIA Bogor ditemukan 12 kasus dan Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang ditemukan 33 kasus.
"Pelayanan pemberian hak pengurangan masa hukuman di Lapas tidak diurus dengan baik oleh pejabat berwenang. Banyak WBP yang akhirnya tidak memperoleh haknya," kata komisioner Ombudsman Ninik Rahayu di Kantor Ombudsman, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (21/8/2017).
Hal tersebut disampaikan dalam laporan hasil investigasi Ombudsman terkait pelayanan Lembaga Pemasyarakatan terhadap pemenuhan hak warga binaan terkait pengurangan masa hukuman. Dalam kesempatan tersebut hadir juga Plt Dirjen Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Ma'mun.
Ninik menjelaskan bila proses maladiministrasi terhadap hak WBP untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman sudah jelas terlihat sejak proses pengajuan awal hingga dalam proses pelaksanaan. Selain itu, dalam pengajuan hak untuk mendapat keringana hukuman juga ada potensi gratifikasi yang berakibat perbuatan korupsi.
"Hal ini menjadi rahasia umum, yang datanya tentu tidak dapat diperoleh, karena tanpa meninggalkan jejak dan tidak terdapat transaksi langsung serta oknumnya tidak jelas. Dari hasil wawancara dengan warga binaan dan mantan warga binaan diperoleh info, dalam pengurusan hak pengurangan masa hukuman, warga binaan harus mengeluarkan uang," paparnya.
Menurut Ninik, ada beberapa faktor yang menyebabkan pelayanan dalam pengajuan hak pengurangan masa tahanan di Lapas menjadi tidak memadai. Setidaknya ada 5 faktor yang diutarakan oleh Ninik.
Faktor pertama adalah kuranganya sumber daya manusia (SDM). Hal tersebut membuat petugas terbatas dalam memantau tidak lanjut dari proses pengajuan remisi para warga tahanan.
"Kedua, minimnya sosialisasi. Dalam hal ini ditegaskan dalam standard minimun rules (SMR) yang mengatur mengenai peraturan dan kebijakan penjara bahwa tiap napi saat masuk Lapas harus diberikan informasi tertulis tentang peraturan tang mengatur perlakuan bagi narapidana," tuturnya.
Ketiga, soal minimnya anggaran. Ninik mengatakan di beberapa Lapas mengeluhkan anggaran yang terbatas untuk melakukan sidang tim pengamat pemasyarakatan (TPP). Mekanisme pelaksanaan sidang di beberapa lapas dengan mengumpulkan 50-70 warga binaan untuk mensiasati keterbatasan anggaran.
"Sepintas pelaksanaan sidang tersebut cukup efektif, tapi pelaksanaan sidang tidak dilaksanakan dengan metode tanya jawab pada masing-masing WBP," ucap Ninik.
Keempat adalah ketidaksamaan persepsi antara pihak Lapas dengan kejaksaan dan kepolisian. Sementara faktor terakhir adalah adanya indikasi perilaku menyimpang dalam hal ini pemberian uang atau korupsi.
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya fasilitas mewah untuk beberapa warga binaan dan waktu kunjungan yang tak dibatasi serta kemudahaan mengurus keringanan hukuman bagi napi yang mampu.
"Indikasi perilaku menyimpang tersebut merupakan maladministrasi yang perlu dibuatkan sistem yang baik guna mencegah hal tersebut. Ini mengingat potensi pembiasaan yang akan terus terjadi," tutup Ninik. (Detikcom)
loading...
Post a Comment