JAKARTA,(BPN)- Jumlah tahanan/narapidana yang menembus 200 ribuan orang membuat anggaran makan mereka membengkak. Triliunan rupiah APBN digelontorkan per tahun untuk memberi makan penghuni LP/rutan, yang sebagian besar adalah pengguna narkotika.
"Dengan terus meningkatnya jumlah napi, beban APBN akan bertambah," kata peneliti Pusako Universitas Andalas, Khairul Fahmi, kepada detikcom, Senin (24/4/2017).
Dalam satu hari, negara memberikan jatah makan Rp 15 ribu untuk tiga kali makan. Uang jatah makan Rp 15 ribu per hari itu masih dipotong keuntungan pihak katering.
Saat ini jumlah tahanan dan narapidana 200 ribuan orang. Bila dikalikan Rp 15 ribu per hari dan dikalikan 365 hari, dalam setahun APBN harus dikucurkan sebesar triliunan rupiah untuk makan tahanan/narapidana.
"Penambahan narapidana tersebut akan berdampak pada menurunnya kualitas asupan makanan dan gizi para napi. Hal demikian tentu bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan, yakni untuk lebih memperlakukan napi secara manusiawi," ujar Fahmi.
Dengan efek domino dari overkapasitas itu, diperlukan strategi 'mengurangi' penghuni secara kilat. Salah satunya mempermudah remisi bagi pengguna dan pengecer kecil narkoba. Dari 70 ribuan terpidana narkoba, ternyata hanya 28 ribuan terpidana yang masuk kategori gembong narkoba.
Oleh sebab itu, diperlukan revisi PP 99/2012 karena PP 99/2012 itu mempersulit pengguna narkoba mendapatkan remisi. Karena salah satu syaratnya harus mendapatkan surat justice collaborator (JC).
"Dengan hanya sebagai pemakai atau pengedar yang juga tidak terlalu jelas detail kategorinya dalam UU Narkotika, amat sulit bagi napi memenuhi syarat jadi JC yang diatur dalam PP 99/2012," ujar Fahmi.
Selain berdampak pada membengkaknya anggaran makan narapidana, overkapasitas juga membuat tujuan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan menjadi susah tercapai.
"Oleh karena itu, agar proses pemasyarakatan tidak terganggu karena terus meningkatnya jumlah napi narkotika, syarat pemberian remisi bagi pengguna narkoba perlu diubah. Para pengguna mesti lebih diarahkan untuk direhabilitasi dibanding dipenjara. Cara itu akan menjadi salah satu jalan untuk keluar dari persoalan overcapacity sehingga penyelenggaraan pemasyarakatan dapat terus dibenahi," pungkas Fahmi. (Red/Detikcom)
loading...
Post a Comment