MANADO,(BPN)—Banyak narapidana menjadi residivis di Sulut ditengarai karena faktor pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau penjara tak maksimal. Salah satu penyebab tidak maksimalnya pembinaan itu karena banyak lapas over kapasitas. Data dihimpun Manado Post, tujuh dari 13 lapas se-Sulut over kapasitas (lihat grafis).
Menurut pakar hukum Toar Palilingan, persoalan ini memang masalah klasik, bukan hanya di Sulut tapi juga seluruh Indonesia. Kondisi ini berbanding terbalik di negara luar, seperti Belanda. “Di sana, para sipir yang dikurangi karena banyak penjara kurang penghuni,” ungkapnya, kemarin (15/3).
Lanjut dia, solusinya tidak lain adalah menambah jumlah lapas. Tapi untuk penambahan lapas juga persoalan. Karena pemerintah mengaku kesulitan dana karena bangunan lapas tidak seperti gedung kantor pada umumnya.
Menurut dia, memang sudah ada upaya dari pemerintah. Di antaranya dengan memberikan remisi, bebas bersyarat dan lainnya.
“Namun pelaku tindak pidana tetap saja jumlahnya tidak sebanding dengan kapasitas tampung lapas. Banyak pihak, termasuk saya, berpikir untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana perlu mengedepankan keadilan restoratif yang memiliki pendekatan, metode, dan prinsip-prinsip kerja berbeda dengan keadilan retributif,” tuturnya.
“Namun pelaku tindak pidana tetap saja jumlahnya tidak sebanding dengan kapasitas tampung lapas. Banyak pihak, termasuk saya, berpikir untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana perlu mengedepankan keadilan restoratif yang memiliki pendekatan, metode, dan prinsip-prinsip kerja berbeda dengan keadilan retributif,” tuturnya.
Keadilan restoratif, menurutnya, bertujuan memulihkan hubungan individu pelaku dan korban atau keluarganya. Biasanya dengan prinsip musyawarah dan mufakat di mana negara bertindak selaku fasilitator bagi mereka yang terlibat dalam kasus-kasus perkara pidana.
“Pendekatan ini sudah mulai bertahap diterapkan untuk tindak pidana ringan (tipiring) saja dan kejahatan serius di bawah ancaman Empat tahun. Penerapan keadilan restoratif dalam perkara-perkara tersebut dijamin dapat menurunkan tingkat hunian lapas. Dari aspek anggaran negara untuk biaya penanganan kasus akan berkurang secara signifikan,” ungkapnya.
Lanjutnya, di Polda Sulut sudah terapkan hal tersebut. Namun tetap memperhatikan efek jera. “Misalnya ada yang sudah melalui proses penahanan namun ada penyelesaian tanpa melakukan penyimpangan hukum. Intinya Tidak semua persoalan harus berakhir di lapas,” tandas Palilingan.
Terpisah, Prasetyo, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sulut mengklaim, kapasitas lapas di Sulut masih kategori cukup. “Saya sudah survei ke semua lapas. Tidak ada yang sampai tidur bergelantung atau berdesak-desakan seperti di Jawa. Tahanan dan narapidana ada 2.070 dan teroris ada satu tapi tidak radikal, dia kooperatif,” ungkapnya.
Prasetyo juga menambahkan, di sulut sendiri kapasitasnya masih di bawah, dibandingkan daerah lain yang sangat banyak. “Jadi sementara ini masih bisa ditoleransi atau dikatakan cukup untuk ditampung,” katanya.
Lanjut dia, yang sementara dibangun lapas wanita di Minut. “Untuk wanita akan disendirikan. Lapas sementara dalam progress di daerah Minut. Tapi sementara dialihkan di lapas anak di Tomohon,” pungkas mantan Kadiv Pemasyarakatan Surabaya ini.(red/mpo)
loading...
Post a Comment